Senin, 11 Maret 2013

Kuya Ngagandong Imahna

Jaman baheula aya Kuya imah-imah di sisi muara. Gawena ngahuma, ngahumateh indit isuk datang sore magrib.

Hiji poe Kuya keur di huma, aya hujan geode bari jeung angina. Tatangkalan rarungkad imah Kuya oge kaapungkeun murag ka leuwi brus ti teleum. Sakadang Kuya sedih kacida, isukana manehna ngieun dei anu leuwih keker supaya te kabawa angina.

Hiji poe manehna balik ti hima, Kuya teh masak pikeun dahar sore. Sabot masak Kuya kacai hela, keur di cai katingali hasep ngebul dina suhunan imahna ku Kuya diburu tapi imah geus angus seneuna gede nakeranan. Kuya teh ceurik.

Keur kitu jol bae Monyet kolot. Monyet ngomong ka sakadang Kuya, “tong ceuri sakadang Kuya ngieun deui imahmah!”

“Anu matak sakadang Monyet lain sakali wae kacilakaan imah teh bareto kabawa angina. Kudu kumaha akalnanya supaya imah awet?” cak sakadang Kuya! Sakadang Monyet ngajawab, “gampang atuh, ngarah imah ulah cilakamah dibawa bae, ulah ditinggalkeun. Pek ngieun dei anu alus tur kuat ke lamun geus anggeus arang tangkodkeun kana tonggong anjeun, pantone sakira asup sirah supaya gampang ngelokeun sirah ka jero.

Eta papatah teh ku Kuya diturutkeun, saenggeus anggeus prak ditengkodkeun dina tonggongna, monyet anu memenerna. Nah ti haritamah imah sakadang Kuya teh sok dibabawa bae, digagandong.
Rincian Dongeng:

- Judulna : Kuya Ngagandong Imahna
- Bahasana : Kasar
- Palakuna : Sakadang Kuya jeung sakadang Monyet
- Watek palakuna :

Sakadang Kuya = Getol daek digawe, gampang putus asa an, te kuat kena musibah.
Sakadang Monyet = Daek babantu jeung mere saran
- Tempat/latar : Baheula dihiji kebon deket walungan
- Eusi/hikmah nu bisa di cokot :

Jadi jalma kudu getol kos sakadang Kuya tapi tong gampang putus asa jeung tong bodo. Jeung kudu daek babantu ka batur kos sakadang Monyet.

Cipeucang

Kacatur kacaritakeun cak kolot, dihiji tempat anu ayana di Kabupaten Bekasi, Kecamatan Bojongmangu, Desa Sukamukti aya hiji lembur nu ngarana Cipeucang. Kunaon eta lembur teh dingaranan Lembur Cipeucang, cak kolot baheula diieu lembur teh loba sasatoan terutama Peucang, Sato bangsaning embe anu awakna letikan ti embe.

Di ieu tempat teh aya cai anu ngocor titungtung kidul nepi tungtung kaler nu di sebut Cipamingkis. Tah di Cipamingkis ieu bangsaning sasatoan ngarinum terutama Peucang. Kusabab cai teh jadi tempat kahirupan mahluk anu harirup sato, tatangkalan oge jalma kabeh ngabutuhkeun cai.

Tah kusabab kitu ieu Lemburteh dingaranan Lembur Cipeucang. Asalna tina ngaran sato nyaeta Peucang jeung cai anu ngalir di eta tempat, Ci = Cai anu ngalir di eta tempat, Peucang = sato anu loba baheula didinya. Disebut weh Cipeucang.

Nepikeun kiwari oge masi aya keneh Cipamingkis anu ngalir di Cipeucang, jeung masi loba jalma lamun usum halodo kacarainateh ka Cipamingkis eta.

Jeung hiji deui di ieu lembur teh lahir saurang jajaka nu ganteng ngalempereng koneng loba nu resep jeung nu bogoh. Tepatna kaping 16 sasih Mei warsih 1987 di lahir keunana. Dugi ayeuna eta jajakateh aya keneh ayeuna kuliah di UPI Kampus Purwakarta nu jenenganana Ojim Suryana tea.

Kamis, 28 Februari 2013

Dongeng Anak Indonesia | Kisah Monyet Yang Rakus

Dongeng Anak Indonesia bermula dari seekor monyet yang terkenal licik dan sangat rakus. Sehingga banyak hewan hutan lainnya yang sangat terganggu akan sifat dari si monyet yang sering mengganggu dan membuat onar. Apabila ada hewan lain yang sedang memakan santapannya, si monyet langsung merebut dan mengambil makanan hewan lain tersebut. Si monyet juga terkenal licik, tak jarang hewan lain yang tertipu akibat akal bulus si monyet.


Pada suatu hari datanglah seorang pemburu yang masuk hutan untuk mencari seekor monyet untuk diburu dan dibawa pulang. "Hari ini aku harus bisa pulang membawa seekor monyet dan aku akan bawa pulang", Si pemburu berkhayal akan buruannya.

Setelah memasang perangkap untuk menjebak monyet, si pemburu kemudian bersembunyi dibalik pohon dan mengamati perangkapnya dari kejauhan sambil bersantai-santai. Setelah beberapa ia menunggu akhirnya datanglah seekor kura-kura yang berjalan lambat melewati perangkap tersebut.

"Hmm..banyak sekali makanan disini", kura-kura melihat ada banyak makanan yang tersedia di jalan yang dilewatinya. Namun ia tak sadar bahwa ada tali yang sudah menjerat kakinya. "Oh gawat ternyata ini adalah jebakan", si kura-kura hanya terdiam menyesali kalau ia sudah masuk perangkap si pemburu.

Tak lama kemudian datanglah monyet menghampiri si kura-kura tersebut. "Hai, kura-kura kau sedang pesta besar yah?", ternyata si monyet mengira kalau si kura-kura sedang pesta makanan. Melihat si monyet datang, si kura-kura sangat senang, berharap ia bisa bebas dari perangkap.

"Hai monyet, senang aku melihat kau datang, mari bergabung dengan ku." Ajak si kura-kura. Monyet yang melihat makanan yang berlimpah langsung turun dari pohon. "Tapi monyet...sebelum kau berpesta, ijinkan aku untuk mengambil minuman yang segar untuk mu, aku lupa membawakannya untuk mu", kata si kura-kura."sebelumnya bisakah kau melepaskan tali ini?".

Mendengar si kura-kura akan membawakan minuman segar, monyet meng-iyakan permintaan kura-kura, dan ia pun melepaskan tali tersebut. "Sekarang kau ikat tali ini agar, makanan-makanan ini tidak diambil oleh hewan lain". Kata si kura-kura. Memang dasar monyet sangat rakus, ia pun segera mengikat kedua kakinya dengan tali jebakan itu, berharap tidak ada hewan lain yang mengambil makanan yang ada dihadapannya.

Akhirnya si kura-kura lepas dan bebas dari perangkap tersebut, tinggalah si monyetyang sedang memakan dengan lahap semua makanan yang ada di perangkap tersebut.

Akhirnya si pemburu melihat ada monyet yang sudah berada di dalam jebakannya. maka dengan mudahnya si monyet tertangkap dan dan dibawa pulang oleh si pemburu tadi.

Hikmah dongeng anak indonesia kali ini, janganlah kita menjadi rakus dan tamak, sebab dengan ketamakan akan membawa kita kepada jurang kehancuran. Bersikaplah adil dan jujur kepada kehidupan ini, maka kita akan selamat dan bahagia.


Bacaan Lainnya:
1. Laptop
2. Serba serbi CPNS
3. Cerita/Dongeng
4. Seluler
5. Elektronika
6. Teh Pagar Alam
7. Kata-kata Mutiara
8. Pengetahuan Dasar Komputer

Selasa, 26 Februari 2013

Dua Orang Pengembara dan Seekor Beruang

Aesop


Dua pengembara dan seekor beruang
Dua orang berjalan mengembara bersama-sama melalui sebuah hutan yang lebat. Saat itu tiba-tiba seekor beruang yang sangat besar keluar dari semak-semak di dekat mereka.

Salah satu pengembara, hanya memikirkan keselamatannya dan tidak menghiraukan temannya, memanjat ke sebuah pohon yang berada dekat dengannya.

Pengembara yang lain, merasa tidak dapat melawan beruang yang sangat besar itu sendirian, melemparkan dirinya ke tanah dan berbaring diam-diam, seolah-olah dia telah meninggal. Dia sering mendengar bahwa beruang tidak akan menyentuh hewan atau orang yang telah meninggal.

Temannya yang berada di pohon tidak berbuat apa-apa untuk menolong temannya yang berbaring. Entah hal ini benar atau tidak, beruang itu sejenak mengendus-endus di dekat kepalanya, dan kelihatannya puas bahwa korbannya telah meninggal, beruang tersebutpun berjalan pergi.
Pengembara yang berada di atas pohon kemudian turun dari persembunyiannya.
"Kelihatannya seolah-olah beruang itu membisikkan sesuatu di telingamu," katanya. "Apa yang di katakan oleh beruang itu"
"Beruang itu berkata," kata pengembara yang berbaring tadi, "Tidak bijaksana berjalan bersama-sama dan berteman dengan seseorang yang membiarkan dan tidak menghiraukan temannya yang berada dalam bahaya."
Kemalangan dapat menguji sebuah persahabatan.

Anak Penggembala dan Serigala

by: Aesop 

Seorang anak gembala selalu menggembalakan domba milik tuannya dekat suatu hutan yang gelap dan tidak jauh dari kampungnya. Karena mulai merasa bosan tinggal di daerah peternakan, dia selalu menghibur dirinya sendiri dengan cara bermain-main dengan anjingnya dan memainkan serulingnya.

Suatu hari ketika dia menggembalakan dombanya di dekat hutan, dia mulai berpikir apa yang harus dilakukannya apabila dia melihat serigala, dia merasa terhibur dengan memikirkan berbagai macam rencana.
Anak Penggembala dan Serigala
Tuannya pernah berkata bahwa apabila dia melihat serigala menyerang kawanan dombanya, dia harus berteriak memanggil bantuan, dan orang-orang sekampung akan datang membantunya. Anak gembala itu berpikir bahwa akan terasa lucu apabila dia pura-pura melihat serigala dan berteriak memanggil orang sekampungnya datang untuk membantunya. Dan anak gembala itu sekarang walaupun tidak melihat seekor serigala pun, dia berpura-pura lari ke arah kampungnya dan berteriak sekeras-kerasnya, "Serigala, serigala!"

Seperti yang dia duga, orang-orang kampung yang mendengarnya berteriak, cepat-cepat meninggalkan pekerjaan mereka dan berlari ke arah anak gembala tersebut untuk membantunya. Tetapi yang mereka temukan adalah anak gembala yang tertawa terbahak-bahak karena berhasil menipu orang-orang sekampung.

Beberapa hari kemudian, anak gembala itu kembali berteriak, "Serigala! serigala!", kembali orang-orang kampung yang berlari datang untuk menolongnya, hanya menemukan anak gembala yang tertawa terbahak-bahak kembali.

Pada suatu sore ketika matahari mulai terbenam, seekor serigala benar-benar datang dan menyambar domba yang digembalakan oleh anak gembala tersebut.

Dalam ketakutannya, anak gembala itu berlari ke arah kampung dan berteriak, "Serigala! serigala!" Tetapi walaupun orang-orang sekampung mendengarnya berteriak, mereka tidak datang untuk membantunya. "Dia tidak akan bisa menipu kita lagi," kata mereka.

Serigala itu akhirnya berhasil menerkam dan memakan banyak domba yang digembalakan oleh sang anak gembala, lalu berlari masuk ke dalam hutan kembali.

Pembohong tidak akan pernah di percayai lagi, walaupun saat itu mereka berkata benar.

Kamis, 14 Februari 2013

Cerita Rakyat: Asal Usul Tari Guel Aceh

Cerita Rakyat: Asal Usul Tari Guel Aceh – Tersebutlah dua bersaudara putra Sultan Johor, Malaysia. Mereka adalah Muria dan Sengede.
Suatu hari, kakak beradik itu meng­gem­­bala itik di tepi laut sambil bermain la­yang-layang. Tiba-tiba datang badai dah­­­­­­­­syat se­­­­hin­gga benang layang-layang me­reka pun putus. Sekuat tenaga mereka mengejar layang-layang ter­sebut. Mere­ka lupa bahwa pada saat itu me­reka sedang menggembala itik, hingga itiknya pun pergi entah ke mana.
Setelah gagal menemukan layang-layang mereka, barulah mereka teringat akan itik-itik mereka. Tetapi malang, itik-itik itu tak lagi nampak. Mereka pun pulang dengan ketakutan akan mendapat marah dari orangtua mereka.
Benar juga apa yang mereka pikir­kan. Setiba di rumah, mereka dimarahi ayah mereka. Mereka juga disuruh mencari itik-itik itu, dan tak diizinkan kembali sebelum itik-itik yang hilang itu ditemukan kembali.
Berhari-hari bahkan berbulan-bulan mereka berjalan mencari itik mereka, tapi tak membawa hasil hingga akhirnya mere­ka tiba di Kampung Serule. Dengan tubuh yang lunglai mereka menuju ke sebuah meunasah/langgar dan tertidur lelap. Pagi hari­­nya mereka ditemukan oleh orang kam­pung dan dibawa menghadap ke istana Raja Serule. Di luar dugaan, mereka malah di­angkat anak oleh baginda raja.
Beberapa waktu berlalu, rakyat Seru­le hidup makmur, aman, dan sentosa. Hal ini di­karenakan oleh kesaktian kedua anak tersebut. Kemakmuran rakyat Serule itu mem­­buat Raja Linge iri dan gusar, se­hing­ga meng­­ancam akan membunuh kedua anak ter­sebut. Malang bagi Muria, ia ber­hasil di­­bunuh dan di­makamkan di tepi Sungai Samarkilang, Aceh Tenggara.
Pada suatu saat, raja-raja kecil ber­kumpul di istana Sultan Aceh di Kutaraja. Raja-raja kecil itu mempersembahkan cap usur, semacam upeti kepada Sultan Aceh. Saat itu, Cik Serule datang bersama Sangede. Saat itu, Raja Linge juga hadir. Saat Raja Serule masuk ke istana, Sangede menung­gu di halaman istana.
Sambil menunggu ayah angkatnya, Sa­­ngede menggambar seekor gajah yang ber­warna putih. Rupanya lukisan Sangede ini menarik perhatian Putri Sultan yang ke­mu­di­an meminta Sultan mencarikan se­ekor ga­jah putih seperti yang digambar oleh Sangede.
Sangede kemudian menceritakan bah­wa gajah putih itu berada di daerah Gayo, pa­dahal dia sebenarnya belum per­nah me­­­­lihatnya. Maka, saat itu juga Sultan me­me­rintahkan Raja Serule dan Raja Linge untuk menangkap gajah putih tersebut gu­na dipersembahkan kepada Sultan. Raja Se­ru­le dan Raja Linge benar-benar kebi­ngu­ng­­an, bagaimana mungkin mencari se­suatu yang belum pernah dilihatnya.
Sangede menyesal karena bercerita bahwa gajah putih itu ada di Gayo hingga ayah angkatnya mendapat tugas mencari­nya. Dalam kebingungan itu, suatu malam Sangede bermimpi bertemu dengan Muria yang memberitahu bahwa gajah putih itu berada di Samarkilang, dan sebenarnya ga­jah putih itu adalah dirinya yang menjel­ma saat dibunuh oleh Raja Linge.
Pagi harinya, Sangede dan Raja Seru­le yang bergelar Muyang Kaya pergi ke Sa­mar­kilang seperti perintah dalam mimpi Sangede. Benar juga, setelah beberapa sa­­at mencari, mereka berdua menemukan ga­­jah putih itu sedang berkubang di ping­gir­­an sungai.
Sangede dan Raja Serule Muyang Kaya kemudian dengan hati-hati mengena­kan tali di tubuh gajah yang nampak pe­nurut itu. Tetapi saat akan dihela, gajah pu­tih itu lari sekuat tenaga. Raja Serule dan Sa­­ngede tak mampu menahannya. Mereka ha­nya bisa mengejarnya hingga suatu saat ga­j­ah itu berhenti di dekat kuburan Muria di Samarkilang.
Anehnya, gajah putih itu berhenti se­perti sebongkah batu. Tak bergerak sedikit pun meski Sangede dan Raja Serule men­coba menghelanya. Berbagai cara dicoba oleh Sangede agar gajah putih itu mau beranjak dan menuruti perintahnya untuk diajak pergi ke istana Kutaraja. Tetapi, se­mua­nya sia-sia.
Sangede kehabisan akal. Akhirnya, dia bernyanyi-nyanyi untuk menarik perhatian gajah putih. Sambil bernyanyi, Sangede meliuk-liukkan tubuhnya. Raja Serule ikut-ikutan menari bersama Sangede di depan gajah putih agar mau bangkit dan menuruti perintahnya. Di luar dugaan, gajah putih itu ter­tarik juga oleh gerakan-gerakan Sa­nge­­de, dan kemudian bangkit. Sangede te­rus menari sambil berjalan agar gajah itu meng­ikuti langkahnya. Akhirnya, gajah itu pun meng­ikuti Sangede yang terus menari hingga ke istana. Tarian itu disebutnya tari­an Guel hingga sekarang.
Sangede menyadari bahwa sesuatu ajakan kepada seseorang atau kepada binatang tidaklah harus dengan cara yang kasar. Dengan sebuah tarian pun akhirnya gajah putih itu menuruti ajakannya.
Penulis: Suprihatin

Cerita Rakyat: Si Parkit Raja Parakeet

Cerita Rakyat Aceh Si Parkit Raja Parakeet : Nanggro Aceh Darussalam merupakan propinsi di Indonesia yang kaya, subur dan makmur. Sejauh mata memandang, hamparan hutan belantara terbentang hijau bagai permadani. Di tengah hutan belantara tersebut hidup beraneka jenis binatang seperti orang utan, trenggiling, bluok, kuntul, alap-alap putih, burung dara laut, burung raja udang, dan termasuk burung parakeet. Dalam hutan itu, lahirlah sebuah cerita fabel di kalangan masyarakat Aceh yang mengisahkan tentang kecerdikan seorang raja burung parakeet bernama si Parkit, yang mampu menyelamatkan diri dari seorang Pemburu yang berniat membunuhnya.
Konon, di tengah hutan belantara itu, hiduplah sekawanan burung parakeet yang hidup damai, tenteram, dan makmur. Setiap hari mereka bernyanyi riang dengan suara merdu bersahut-sahutan dan saling membantu mencari makanan. Kawanan burung tersebut dipimpin oleh seorang raja parakeet yang bernama si Parkit. Namun, di tengah suasana bahagia itu, kedamaian mereka terusik oleh kedatangan seorang Pemburu. Ternyata, ia berniat menangkap dan menjual burung parakeet tersebut. Pelan-pelan tapi pasti, si Pemburu itu melangkah ke arah kawanan burung parakeet itu, lalu memasang perekat di sekitar sarang-sarangnya. “Ehm….Aku akan kaya raya dengan menjual kalian!”, gumam si Pemburu setelah selesai memasang banyak perekat. Si Pemburu itu pun tersenyum terus memba­yangkan uang yang akan diperolehnya.
Gumaman si Pemburu tersebut didengar kawanan burung parakeet, sehingga mereka menjadi ketakutan. Mereka berkicau-kicau untuk mengingatkan antara satu sama lainnya. “Hati-hati! Pemburu itu telah memasang perekat di se­kitar sarang kita! Jangan sam­pai tertipu! Sebaiknya kita tidak terbang ke mana-mana dulu!” seru seekor burung parakeet. “Ya, betul! Kita memang ha­rus berhati-hati,” sahut burung parakeet yang lain. Namun, karena harus mencari makan, burung-burung parakeet itu pun keluar dari sarangnya. Alhasil, apa yang ditakutkan burung-burung parakeet itu pun terjadi. Bencana tak terelakkan, burung-burung parakeet itu terekat pada perekat si Pemburu. Mereka meronta-ronta untuk melepaskan diri dari perekat tersebut, namun usaha mereka sia-sia. Kawanan burung parakeet tersebut menjadi panik dan bingung, kecuali si Parkit, raja parakeet.
Melihat rakyatnya kebingungan, Raja Parakeet berkata, “Tenang, Rakyatku! Ini adalah perekat yang dipasang si Pemburu. Berarti dia ingin menangkap kita hidup-hidup. Jadi, kalau kita mati, si Pemburu itu tidak akan mengambil kita. Besok, ketika si Pemburu itu datang, kita pura-pura mati saja!”, mendegar penjelasan raja Parakeet itu, rakyatnya terdiam. Sejenak, suasana menjadi hening. Di tengah keheningan itu, “Berpura-pura mati? Untuk apa?”, tanya seekor parakeet, membuat burung parakeet lainnya menoleh ke arahnya. Si Parkit tersenyum mendengar pertanyaan itu, “Besok, setelah si Pemburu melepaskan kita dari perekat yang dipasangnya, dia akan memeriksa kita satu per satu. Bila dilihatnya kita telah mati, maka dia akan meninggalkan kita di sini. Tunggu sampai hitunganku yang ke seratus agar kita dapat terbang secara bersama-sama!”. Semua rakyatnya ternganga mendengar penjelasan si Parkit. “Oh, begitu..!? Baiklah, besok kita akan ber­pura-pura mati agar dapat be­bas dari Pemburu itu!”, sahut rakyatnya setuju.
Si Parkit Raja ParakeetKini, rakyatnya sudah mengerti apa yang direnca­nakan oleh si Parkit. Mereka ber­janji akan menuruti pe­rintah rajanya. Keesokan harinya, si Pemburu pun datang. Dengan sangat hati-hati, si Pemburu melepaskan burung parakeet tersebut satu persatu dari perekatnya. Ia sangat kecewa, karena tak satu pun burung parakeet yang bergerak. Dikiranya burung parakeet tersebut telah mati semua, ia pun membiarkannya. Dengan rasa kesal, si Pemburu berjalan seenaknya, tiba-tiba ia jatuh terpeleset. Kawanan burung parakeet yang berpura-pura mati di sekitarnya pun kaget dan terbang dengan seketika tanpa menunggu hitungan dari si Parkit. Si Pemburu pun berdiri kaget, karena ia merasa telah ditipu oleh kawanan burung parakeet itu. Namun, tiba-tiba ia tersenyum, karena melihat ada seekor burung parakeet yang masih melekat pada perekatnya. Lalu ia menghampiri burung parakeet tersebut, yang tidak lain adalah si Parkit. “Kamu akan kubunuh!”, bentak si Pemburu dengan marah. Si Parkit sangat ketakutan mendengar bentakan si Pemburu.
Si Parkit yang cerdik itu, tidak mau kehilangan akal. Ia segera berpikir untuk menyelematkan diri, karena ia tidak mau dibunuh oleh si Pemburu itu. “Ampuni hamba, Tuan! Jangan bunuh hamba! Lepaskan hamba, Tuan!” pinta si Parkit. “Enak saja! Kamu dan teman-temanmu telah me­nipuku. Kalau tidak, pasti aku sudah banyak menang­kap kalian!” kata si Pemburu dengan marah. “Iya. Tapi itu kan bukan salahku. Ampuni hamba, Tuan! Hamba akan menghibur Tuan setiap hari!” kata si Parkit memohon. “Menghiburku?” tanya si Pemburu. “Betul, Tuan. Hamba akan bernyanyi setiap hari untuk Tuan!” seru si Parkit. Si Pem­buru diam sejenak memikirkan tawaran burung parakeet itu. “Memangnya suaramu bagus?” tanya si Pemburu itu mulai tertarik. Si Parkit pun bernyanyi. Suara si Parkit yang merdu itu berhasil mumbujuk si Pemburu, sehingga ia tidak jadi dibunuh. “Baiklah, aku tidak akan membu­nuhmu, tapi kamu harus bernyanyi setiap hari!” kata si Pemburu. Karena takut dibunuh, si Parkit pun setuju.
Setelah itu, si Pemburu membawa si Parkit pulang. Sesampai di rumahnya, si Parkit tidak dikurung dalam sangkar, tapi salah satu kakinya diikat pada tiang yang cukup tinggi. Sejak saat itu, setiap hari si Parkit selalu bernyanyi untuk menghibur si Pem­buru itu. Si Pemburu pun sangat senang mendengarkan suara si Parkit. “Untung….aku tidak membunuh burung parakeet itu”, ucap si Pemburuh. Ia merasa beruntung, karena banyak orang yang memuji kemerduan suara si Parkit. Sampai pada suatu hari, kemerduan suara si Parkit tersebut terdengar oleh Raja Aceh di istananya. Raja Aceh itu ingin agar burung parakeet itu menjadi miliknya. Sang Raja memanggil si Pemburu menghadap kepadanya. Si Pemburu pun datang ke istana dengan perasaan bimbang, karena ia sangat sayang pada si Parkit.
Sampai di hadapan Raja Aceh, ia tidak bersedia memberikan si Parkit yang bersuara merdu itu kepada Sang Raja. “Ampun, Baginda! Hamba tidak bermaksud menentang keinginan Baginda!” kata si Pemburu memberi hormat. “Lalu, kenapa kamu tidak mau memberikan burung itu?” tanya sang Raja. “Ampun, Baginda! Mohon beribu ampun! Hamba sangat sayang pada burung tersebut. Selama ini hamba telah memeliharanya dengan baik”, jawab si Pemburu. Mendengar jawaban itu, “Kalau begitu, bagaimana jika kuganti dengan uang yang sangat banyak.?”, sang Raja menawarkan. Pemburu itu pun terdiam sejenak memikirkan tawaran itu. Tidak lama, “Ampun, Baginda! Jika Baginda benar-benar menyukai burung parakeet ter­sebut, silakan kirim pengawal untuk me­ngambilnya!” kata si Pemburu sambil memberi hormat. Sang Raja sangat senang mendengar jawaban si Pemburu. Ia pun segera memerintahkan beberapa pengawalnya untuk mengambil burung parakeet tersebut dan menyerahkan uang yang dijanjikannya kepada si Pemburu.
Si Parkit pun dibawa ke istana dan dimasukkan ke dalam sangkar emas. Setiap hari si Parkit disediakan makanan yang enak. Meksipun semuanya serba enak, namun si Parkit tetap tidak senang, karena ia merasa terpenjara. Ia ingin kembali ke hutan belantara tempat tinggalnya dulu, agar ia bisa terbang bebas bersama rakyatnya. Karena merasa sedih, si Parkit sudah beberapa hari tidak mau menyanyi untuk sang Raja. Mengetahui burung parakeetnya tidak mau menyanyi lagi, sang Raja mulai bimbang memikirkan burung parakeetnya. Karena ingin tahu keadaan burung itu yang sebenarnya, maka sang Raja pun memanggil petugas istana, “Kenapa burung parakeetku tidak mau bernyanyi lagi beberapa hari ini? Dia sakit, ya?”. Petugas Istana itu menjawab, “Maaf, Tuanku. Hamba juga tidak tahu apa sebabnya. Saya telah memberinya makan seperti biasanya, tetapi tetap saja ia tidak mau bernyanyi,”. Mendengar jawaban dari Petugas Istana tersebut, Raja Aceh menjadi sedih melihat burung parakeetnya yang tidak mau bernyanyi lagi. “Ada apa, ya?” gumam sang Raja.
Beberapa hari kemudian, si Parkit bah­kan tidak mau memakan apa pun yang di­sediakan di dalam sangkar emasnya. Ia terus teringat pada hutan belantara tempat tinggalnya dulu. Si Parkit pun mulai berpikir, “Bagaimana caranya ya….aku bisa keluar dari sangkar ini?”, gumam si Parkit. Tak lama, ia pun menemukan akal, “Aahh….aku harus berpura-pura mati lagi!”, si Parkit tersenyum sambil membayangkan dirinya lepas dan terbang tinggi. Akhirnya, pada suatu hari, ia pun berpura-pura mati. Petugas Istana yang mengetahui si Parkit mati segera menghadap sang Raja. “Ampun, Tuanku. Hamba sudah merawat dan memelihara sebaik mung­kin, tapi burung parakeet ini tidak tertolong lagi. Mungkin karena sudah tua,” kata Petugas Istana melaporkan kematian si Parkit. Sang Raja sangat sedih mendengar berita kematian burung parakeetnya, sebab tidak akan ada lagi yang meng­hi­burnya. Meskipun sang Raja masih memiliki burung parakeet yang lain, tetapi suaranya tidak semerdu si Parkit. Karena si Parkit tidak bisa tertolong lagi, “Siapkan upacara penguburan! Kuburkan burung parakeetku itu dengan baik!” perintah sang Raja. “Siap, Tuanku! Hamba laksanakan!” sahut Petugas Istana.
Si Parkit Raja ParakeetPenguburan si Parkit akan dilaksanakan dengan upacara kebesaran kerajaan. Pada saat persiapan penguburan, si Parkit dikeluarkan dari sangkarnya karena dianggap sudah mati. Ketika ia melihat semua orang sibuk, dengan cepatnya ia terbang setinggi-tingginya. Di udara ia berteriak dengan riang gembira, “Aku bebaasss…!!! Aku bebaasss….!!!. Orang-orang hanya terheran-heran melihat si Parkit yang dikira sudah mati itu bisa terbang tinggi. Akhirnya si Parkit yang cerdik itu bebas terbang ke hutan belantara tempat tinggalnya dulu yang ia cintai. Kedatangan si Parkit pun disambut dengan meriah oleh rakyatnya.
Akhirnya, Si Parkit, Raja Parakeet, kembali tempat tinggalnya.
Sumber:
Ari Wulandari. Pakit Raja Parakeet. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Adicita Karya Nusa, 2003.

Cerita Dongeng: Si Kancil dan Siput

Cerita Dongeng Si Kancil dan Siput: Pada suatu hari si kancil nampak ngantuk sekali. Matanya serasa berat sekali untuk dibuka. “Aaa….rrrrgh”, si kancil nampak sesekali menguap. Karena hari itu cukup cerah, si kancil merasa rugi jika menyia-nyiakannya. Ia mulai berjalan-jalan menelusuri hutan untuk mengusir rasa kantuknya. Sampai di atas sebuah bukit, si Kancil berteriak dengan sombongnya, “Wahai penduduk hutan, akulah hewan yang paling cerdas, cerdik dan pintar di hutan ini. Tidak ada yang bisa menandingi kecerdasan dan kepintaranku”.
Sambil membusungkan dadanya, si Kancil pun mulai berjalan menuruni bukit. Ketika sampai di sungai, ia bertemu dengan seekor siput. “Hai kancil !”, sapa si siput. “Kenapa kamu teriak-teriak? Apakah kamu sedang bergembira?”, tanya si siput. “Tidak, aku hanya ingin memberitahukan pada semua penghuni hutan kalau aku ini hewan yang paling cerdas, cerdik dan pintar”, jawab si kancil dengan sombongnya.
“Sombong sekali kamu Kancil, akulah hewan yang paling cerdik di hutan ini”, kata si Siput. “Hahahaha……., mana mungkin” ledek Kancil. “Untuk membuktikannya, bagaimana kalau besok pagi kita lomba lari?”, tantang si Siput. “Baiklah, aku terima tantanganmu”, jawab si Kancil. Akhirnya mereka berdua setuju untuk mengadakan perlombaan lari besok pagi.
Setelah si Kancil pergi, si siput segera mengumpulkan teman-temannya. Ia meminta tolong agar teman-temannya berbaris dan bersembunyi di jalur perlombaan, dan menjawab kalau si kancil memanggil.
Akhirnya hari yang dinanti sudah tiba, kancil dan siput pun sudah siap untuk lomba lari. “Apakah kau sudah siap untuk berlomba lari denganku”, tanya si kancil. “Tentu saja sudah, dan aku pasti menang”, jawab si siput. Kemudian si siput mempersilahkan kancil untuk berlari dahulu dan memanggilnya untuk memastikan sudah sampai mana si siput.
Kancil berjalan dengan santai, dan merasa yakin kalau dia akan menang. Setelah beberapa langkah, si kancil mencoba untuk memanggil si siput. “Siput….sudah sampai mana kamu?”, teriak si kancil. “Aku ada di depanmu!”, teriak si siput. Kancil terheran-heran, dan segera mempercepat langkahnya. Kemudian ia memanggil si siput lagi, dan si siput menjawab dengan kata yang sama.”Aku ada didepanmu!”
Akhirnya si kancil berlari, tetapi tiap ia panggil si siput, ia selalu muncul dan berkata kalau dia ada depan kancil. Keringatnya bercucuran, kakinya terasa lemas dan nafasnya tersengal-sengal.
Kancil berlari terus, sampai akhirnya dia melihat garis finish. Wajah kancil sangat gembira sekali, karena waktu dia memanggil siput, sudah tidak ada jawaban lagi. Kancil merasa bahwa dialah pemenang dari perlombaan lari itu.
Betapa terkejutnya si kancil, karena dia melihat si siput sudah duduk di batu dekat garis finish. “Hai kancil, kenapa kamu lama sekali? Aku sudah sampai dari tadi!”, teriak si siput. Dengan menundukkan kepala, si kancil menghampiri si siput dan mengakui kekalahannya. “Makanya jangan sombong, kamu memang cerdik dan pandai, tetapi kamu bukanlah yang terpandai dan cerdik”, kata si siput. “Iya, maafkan aku siput, aku tidak akan sombong lagi”, kata si kancil.

Cerita anak ini diceritakan kembali oleh Kak Ghulam Pramudiana

Legenda Candi prambanan

Ribuan tahun yang lalu, terjadilah peperangan yang merebutkan kerajaan pengging yang di pimpin oleh Raja Prabu Damar Moyo dengan kerajaan keraton Baka yang di perintah oleh seorang Raja yang jahat, sadis, bengis dan suka meringis  yaitu Prabu Baka. Kedua kerajaan Hindu itu bertempur hingga rakyat kerajaan pengging menderita . Hingga Prabu Damar Maya mengutus putra Mahkotanya, Raden Bandung Bondowoso untuk menyerang kerajaan Prabu Baka. Setelah melalui pertempuran yang sangat sengit sampai beberapa hari akhirnya sang Prabu Baka dapat dikalah oleh kesaktian Raden Bandung Bondowoso.

Setelah Kerajaan Baka ditaklukan Raden Bandung Bondowoso segera menguasai Kerajaan Keraton Baka. Putri Prabu Baka yang bernama Roro Jonggrang merasa sedih atas kematian ayahnya dan mencari cara untuk mengalahkan Raden Bandung Bondiwoso. Hingga pada suatu saat Raden bandung Bondowoso bertemu dengan Roro Jonggrang. Melihat kecantikan Sang Putri yang mempesona. " Weleh - weleh iki si Roro Jonggrang jebule ko ayune tenan koyo bidadari bojone joko tarup, kinyis - kinyis kimplah - kimplah baru pertama kali ini aku melihat gadis secantik ini soalnya di pengging aku tiap hari cuma lihat mbok emban " kata hati Raden Bandung Bondowoso ia pun langsung jatuh hati kepada Loro Jonggrang dan berniat memperistrinya.

Akan tetapi Loro Jonggrang tak ingin di peristri oleh orang yang telah membunuh ayahnya dan dia juga tidak ingin terjadi peperangan lagi. Akhirnya dimintanya Raden Bondowoso membangun 1.000 candi dalam waktu satu malam sebelum mata hari terbit, jika itu terpenuhi, maka Roro Jonggrang siap menjadi permaisuri Raden Bnadung Bondowoso.
" Raden saya mau menjadi istri Raden tetapi dengan satu syarat" kata Roro jonggrang
" Katakan apa syaratnya kamu mau apa pastikan kuberi kamu minta apa akan kuturuti semua demi kamu sayang" kata Raden Bandung  ( kaya lagunya band wali nih wah Raden Bandung romantis juga ya ).
" Aku minta di bikinkan 1000 candi dalam waktu satu malam" kata Roro jonggrang
" We e' e' e' e' oke lah kalo begitu " kata Raden Bandung dengan semangat. 

Raden Bandung Bondowosopun menyetujui permintaan Sang Putri. Dikerahkanya kekuatanya dengan di bantu para jin agar 1.000 candi selesai.
 " Sluku - sluku bathok bathok'e ela - elo si romo menyang kutho oleh - oleh'e payung mutho mak jenthit lololoba wong mati ora obah yen obah medeni bocah ........ " ucap Raden bandung membaca mantra memanggil jin  " Om jiiiiin datanglah aku butuh bantuanmu"

Tak lama kemudian tercium bau menyan dan singkong bakar kemudian ...." herrrrrrrrrrr pah poh pah poh ada apa raden memanggil saya" sebuah sosok tinggi besar hitam menjawab panggilan Sang Raden Bondowoso.
" Om jin bikinin aku 1000 candi dala satu malam ya nanti kalo sudah selesai sampeyan tak kasih menyan sama singkong bakar yang banyak oke om jin"
" Oke bos BB " jawab jin tesebut " Hoiiiii anak - anaku kumpul semuanya ada proyek besar nih ayo kita kerjakan nanti komisi di bagi - bagi " teriak om jin memanggil teman - temanya " Siap bos gampang itu " ucap salah satu jin anak buah om jin, kemudian para jin Raden Bondowoso itu pun mulai bekerja dan sangat cepat sekali.

Di lain tempat di balik semak - semak tak jauh dari Raden Bandung ternyata ada sepasang mata yang sedang mengintai, rupanya Roro Jonggrang mengutus salah satu abdi dalemnya untuk memata - matai Raden Bandung dia adalah Kartumi ( Kartumi artinya kartu remi dia di berinama kartumi karena ayahnya yang hobi berjudi menggunakan kartu remi  ) dengan wajah pucat pasi karena ketakutan melihat para jin Raden Bandung yang sedang bekerja. Kartumi melangkah pergi meninggalkan tempat persembunyianya dengan langkah gemetaran menahan kencing " nunut nguyuh - nunut nguyuh mbah " ia pun jongkok dibalik sebuah pohon besar untuk buang air kecil karena ketakutan .

Kartumipun segera melaporkan kejadian itu kepada junjunganya " Waduh den ayu ketiwasan den ternyata Raden Bandung di bantu oleh para jin untuk menyesaiakan 1000 candi yang den ayu minta " kata kartumi dengan wajah pucat dan panik sambil tanganya memegang bagian pantatnya yang basah, ternyata tadi saat dirinya buang air kecil dengan terburu - buru sehingga air seninya jatuh kemana - mana . Melihat hai itu, Roro Jonggrangpun ikut panik dan memcari cara agar upaya Raden Bandung Bondowoso gagal.
" Waduh ternyata Raden Bandung memiliki pasukan jin mukin dia kenal sama nabi sulaiman kali ya wah kalo begini caranya rencanaku bisa gagal total ini " Ucap Roro jonggrang cemas. 
Kemudian ia pun menjalankan rencana B ( opo kwi rencana B ada - ada aja nih si admin ) kemudian dikumpulkanya para gadis lalu di tumbuknya alu, serta di bakarnya api agar tampak semburat cahaya mata hari pagi. Mendengar tumbukan alu, serta merta ayam jantan berkokok, mengira pagi telah tiba. Para jin terkejut melihat cahaya matahari yang mulai  muncul dan kokok ayam jantan, hingga mereka menghentikan pekerjaanya.

" Waduh lha kok sudah pagi wah bahaya ini " ucap pimpinan jin itu lalu ia pun segera memberi komando anak buahnya untuk segera berhenti dan kembali ke alamnya " Wooooooi!" anak - anaku leren - leren bubar pualang sudah pagi " mendengar komando dari pimpinan mereka serentak para jin meninggalkan pekerjaanya dan pergi.

" Lho....lho...lho lha kok pado lungo belum selesai ini piye to om jin " kata Raden Bandung  
" Maaf Raden hari sudah menjelang pagi saya ada acara rapat sama Kanjeng Nabi Sulaiman" 

Melihat hal itu Raden Bandung Bondowoso menjadi murka, karena tahu itu adalah akal - akalan Loro Jonggrang. candi yang sudah jadi berjumlah 999 buah, tinggal satu candi lagi dan sempurnalah sudah.

" Weleeeeeh uediaaaaan tenan kowe Roro Jonggrang! kau sudah mempermainkan aku! jika kau memang menginginkan candi sebanyak 1.000 buah, maka jumlah keseribu itu adalah kau!", ucapan Raden bandung Bondowoso seraya menunjuk ke Roro Jonggrang.

Serta merta, Putri Roro Jonggrang berubah wujud menjadi sebuah arca berwujud dirinya. Kini seribu candi itu bernama Candi Prambanan. Sampai sekarang Candi Prambanan masih berdiri megah dan menjadi obyek wisata di daerah Yogyakarta dan kisah Raden Bondowoso dan Roro Jonggrang di ceritaka dalam Sendra Tari Ramayana, yang di gelar setiap malam bulan Purnama di pelataran halaman Candi Prambanan.

Demikian tadi sebuah cerita mengenai legenda candi prambanan versi dongeng sebelum tidur chrislarabe seperti biasa ada yang di plesetkan dalam cerita tersebut semua hanya bertujuan untuk menghibur dan tidak bermaksud menyinggung siapapun mohon maaf dan sekian.

Dewi Kumandang (Asal Mula Gema)

Pada jaman dahulu kahyangan adalah tempat dimana para bidadari yang berparas jelita dan dewa-dewa tinggal. Adalah seorang bidadari yang memiliki wajah paling jelita bernama Dewi Kumandang. Sesuai namanya, selain cantik, Dewi kumandang pun bersuara merdu mendayu. Meski banyak bidadari lain yang iri akan kecantikannya, namun banyak pula bidadari yang akrab dengannya. Itu karena Dewi Kumandang tidak pernah sombong dengan kelebihannya dan selalu ramah pada siapapun. 
 
Salah satu bidadari yang membencinya adalah istri Betara Guru yang merupakan raja para bidadari dan dewa-dewa. Pasalnya Betara Guru terlihat jelas sangat menyukai Dewi Kumandang. Setiap hari selama berjam-jam betara Guru menghabiskan waktunya di taman sari hanya untuk mendengar dan melihat Dewi Kumandang menyanyi dan menari bersama teman-temannya. 
 
Tidak hanya betara Guru yang tertarik pada Dewi Kumandang. Dewa-dewa lain pun telah banyak yang menawarkan cintanya, namun selalu ditolak dengan halus olehnya. “Saya masih belum mengerti masalah cinta,” katanya selalu. “Saya masih ingin menghabiskan waktu bersama teman-teman tanpa beban.” 
 
Namun isti betara Guru tidak percaya akan keluguan Dewi Kumandang. Menurutnya Dewi Kumandang hanya berpura-pura lugu untuk menarik hati para peminatnya. Hari ke hari bencinya kepada Dewi Kumandang semakin besar, hingga timbullah niat jahat di hatinya. “Akan kucelakakan dia,” batinnya. 
 
Berbagai cara dilakukan untuk mencelakankan Dewi Kumandang, namun usahanya selalu gagal karena Dewi Kumandang selalu ditolong oleh teman-temannya. Hingga ssuatu hari saat Dewi Kumandang sedang mandi di telaga sendirian, istri betara Guru menghampirinya.

“Hai Dewi Kumandang! Kau bidadari rendahan! Bisamu hanya menggoda suami orang lain,” katanya.
“Wahai betari, ada apa gerangan paduka memarahiku? Apa kesalahanku?” tanya Dewi Kumandang.

“Ah, jangan pura-pura lugu. Bukankah kau sengaja menggoda para dewa dengan kecantikan dan suaramu? Hingga suamiku tergila-gila olehmu!” bentaknya. “Aku tidak akan menghabiskan energiku dengan bertengkar denganmu. Dewi kumandang, aku tidak suka suaramu yang menggoda itu, maka sejak saat ini, aku mengutukmu! Kau tidak akan lagi bisa berbicara apalagi bernyanyi. Kau hanya bisa menirukan satu patah kata terakhir yang terdengar di telingamu!” 
 
Petir menggelegar selepas istri betara Guru melepaskan kutukannya. Dewi Kumandang ingin berteriak membela dirinya, namun tidak ada suara yang terdengar dari bibirnya. Tahulah ia bahwa kutukan itu sudah terjadi. Dewi Kumandang sangat bersedih, namun apa daya istri betara Guru adalah bidadari yang sangat sakti. Tidak ada yang bisa menolongnya mencabut kutukan tersebut. 
 
Sejak saat itu Dewi Kumandang selalu bersembunyi. Dia malu dan takut dengan keadaannya. Akhirnya suatu malam Dewi Kumandang meninggalkan kahyangan dan turun ke bumi. Di bumi Dewi kumandang bersembunyi di sebuah gunung yang terjal. Dia pikir tidak akan ada yang datang ke tempat seperti itu. Namun suatu pagi dia menemukan seorang pemuda yang sangat tampan tergeletak pingsan di dasar jurang. Karena kasihan Dewi Kumandang menolongnya hingga pemuda itu siuman. Pemuda itu terkejut melihat seorang gadis yang sangat cantik di hadapannya.
“Hai, siapakah kau?” tanya pemuda.
Pemuda itu heran karena gadis itu bukannya menjawab malah menutup mulutnya erat-erat.
“Jangan takut!” kata pemuda. “Aku hanya ingin berterima kasih.”
Dewi Kumandang yang takut menirukan suara si pemuda, lari meninggalkan si pemuda yang terkejut melihat tingkahnya. Dengan susah payah pemuda itu berusaha mengejar Dewi kumandang.
“Tunggu!” kata pemuda.
“Tungguuuu…..” sahut Dewi Kumandang menirukan suara pemuda itu.
“Tunggu Dewi!”
“Dewiiii….” sahutnya.
Dewi Kumandang berlari semakin cepat hingga pemuda itu tidak bisa mengejarnya. Sejak saat itu Dewi Kumandang tidak pernah menampakkan diri. Kita hanya tahu keberadaannya kalau kita berteriak di pegunungan. Jika teriakan kita ada yang meniru atau berkumandang, artinya di sanalah Dewi Kumandang berada. 
 
(SELESAI)

Weekend Bersama Alam Papandayan

Setelah melewati banyak rintangan, dari perubahan keputusan dan rempongnya bawaan (maklum, baru pertama kali naik gunung secara resmi… dan backpacker). Kawasan yang menjadi tujuan kami adalah Gunung Papandayan Garut, awal rencana yang mau berangkat ada 8 orang tapi di hari H 3 orang memutuskan tidak jadi ikut karena alasan tertentu.

Saya berangkat dari kost (Pondok Aren, Tangsel) jam 19.15 ke Rumah Erin, motor saya dititipkan di rumahnya kemudian kami berangkat bareng jam 20.15 naik ojek kearah Ciledug sampai jam 20.30. Setelah kami tiba di Ciledug, disana sudah ada Abi yang menunggu.

TRANSPORTASI
Kami bertiga naik bis patas Cileduk-Kampung Rambutan dengan tarif Rp 7.000;, tiba di Kampung Rambutan waktu menunjukkan pukul 23.30. Mr James sudah ada disana, setelah say hello dan berkenalan kami berbincang-bincang sambil menunggu satu teman lagi dari Kebon Jeruk yang ternyata sedang terjebak macet.

Jam 00.00 Si Fahry, teman yang sedang kami tunggu akhirnya datang juga. Kami langsung berkemas dan bergegas mencari bis kearah Garut. Dan ternyata malam itu kami sudah kehabisan bis, kemudian kami memutuskan untuk naik ojek ke Pasar Rebo setelah melakukan tawar-menawar harga karena sudah terlalu malam jadi kami menyetujui membayar dengan harga yang cukup mahal Rp 10.000; untuk jarak yang dekat. Alhamdulillah…di Pasar Rebo masih ada satu bis kearah Garut yang sedang mangkal, kami segera naik dan dengan mudah kami bisa mendapatkan kursi sesuai keinginan karena tidak ada penumpangnya. Bis baru bergerak pukul 01.00, kami pergunakan waktu di bis tersebut untuk tidur yang kebetulan ka-
mi semua baru pulang kerja.

Tiba di terminal Cicaheum Garut pukul 05.30, sebelum melanjut-kan perjalanan kami bergantian ke toilet yang ada di terminal ter-sebut. Setelah itu kami sarapan bubur ayam yang rasanya cukup asin di sekitar tempat kami turun tadi dengan harga Rp 5.000; per porsi. Saya dan Erin mampir ke pasar sebentar membeli sayur dan beras untuk dimasak nanti, seusai belanja kami langsung mencari angkot dengan tujuan Cicaheum (tarif Rp 6.000;).

BERANGKAT!
Tiba di pertigaan Cisurupan kira-kira 30-40 menit perjalanan dengan jarak tempuh 12 km, sambil menunggu teman dari tim lain untuk naik dolak bareng kami bergiliran ke toilet yang ada di Masjid Mr James dan Abi membeli beberapa ransum di Indomaret. Tarif harga yang sudah disepakati adalah Rp 10.000; per orang. 12 orang sudah terkumpul untuk naik dolak (truk sayur), 5 orang dari kami dan 7 orang dari tim lain yang sepertinya masih anak-anak SMU.

Mr James duduk di sebelah Pak Sopir, Abi dan Fahry disisi kiri bersama anak-anak SMU, aku dan Erin di sisi kanan bersama anak-anak SMU yang lainnya. Di sepanjang jalan kami melihat pemandangan yang luar biasa, puncak Papandayan dilihat dari kaki gunung seperti penuh misteri karena banyak asap dari belerang dan kabut yang menyelimutinya. Kami juga bisa melihat hutan mati yang masih mengeluarkan asap karena kebakaran yang terjadi di bulan Ramadhan kemarin. Perjalanan dari Cisurupan menuju Penanjakan menghabiskanwaktu 30 menit, jalanannya cukup terjal karena daerah Pegunungan dan juga sudah rusak aspalnya. Setiap tikungan kami harus berpegangan kuat-kuat begitu juga kalau ada lubang, Mr. james menjadi navigator kita karena beliau duduk di dekat Pak Sopir.

PUNCAK PENANJAKAN
Begitu kami sampai di TKP dan turun dari dolak, beberapa dari kami langsung ke toilet sebelum me-lakukan pendakian. Mr James mengganti bajunya dengan baju sport, yang menurut saya ‘Ngga Banget’ yaitu T-Shirt Tangtop dan celana pendek untuk suhu udara yang lumayan dingin itu. Sedangkan Aby dan Fahry ke Posko untuk melapor dengan membayar sejumlah uang ‘sukarela’. Setelah berfoto bersama dengan meminta bantuan salah seorang dari tim pendaki yang lain, kami berdoa yang dipimpin oleh Abi untuk keselamatan bersama diakhiri dengan toast tangan dan berteriak ‘Haaaa….!!!!!’

Perjalanan dimulai! Pendaki cukup banyak di hari itu kemungkinan mereka mempunyai alasan yang sama dengan kami yaitu menghabiskan liburan weekend bersama alam. Ada dua jalur yang bisa dilewati untuk mencapai puncak yang menjadi tujuan kami yaitu Taman Salada, tempat dimana kami merencanakan untuk mendirikan tenda dan bermalam disana. Track yang kami lalui berupa batu-batuan dan pasir putih bekas lahar letusan gunung Papandayan, baru beberapa menit perjalanan saya dan Erin sepertinya sudah merasa keletihan hahah…maklum mountainering amatir, kami beristirahat di atas bebatuan dan teman-teman yang lain dengan sabar menunggu kami di depan. Di perjalanan kami bertemu dengan banyak orang, ada warga setempat yang baru menuruni puncak,ada juga yang naik dengan mengendarai sepeda motor. 

‘Waduhhhh….ne orang uda ga punya rasa takut apa ya?’ gumam kami. Kami juga bertemu dengan sepasang suami istri, yang pria berasal dari Prancis dan yang wanita dari Malang Mr. Steve dan mba Ida namanya. Yang pada akhirnya mereka memutuskan untuk bergabung di tenda kami meskipun tidak ada rencana menginap di Puncak pada awalnya. Kami bertukar cerita satu sama lain selama perjalanan, satu sama lain jadi lebih saling mengenal. Abi teman Erin ternyata sudah beberapa kali naik gunung, kalau Fahry emang pendaki gunung sejati dalam 1 bulan dia pernah naik gunung sampai 4 kali. Mr. James adalah Managernya Abi di kantor, dia warga Negara Malaysia dan seorang atlet lari marathon. Mba Ida ternyata sudah menjadi warga Negara Perancis, sudah 13 tahun dia tinggal disana dan bekerja sebagai karyawan restoran dengan nuansa ski. Mr. Steve sendiri adalah seorang teknisi perakitan pesawat terbang di Perancis. 

Kadang-kadang kami harus menghentikan percakapan karena kelelahan dengan jalanan yang selalu menanjak, alur nafas jadi lebih cepat dari biasanya. Selain tanjakan, asap belerang dengan bau yang menyengat juga harus kami lalui.

Untuk menghilangkan rasa lelah Erin membidikkan kamera ke arah kami, dengan sigap tan-pa di komando kamipun berpose layaknya banci kamera. Waduuuuhh….capeknya bukan main, dengan bawaan yang cukup berat di punggung. Padahal itu sudah dikurangi bebannya 75% waktu di rumah Erin, dan heheheh… akhirnya yang membawa tasku pulang pergi adalah Abi, karena tas Abi tidak ada isinya apa-apa terakhir tenda yang aku bawa dimasukkan ke dalam tasnya.

Yang paling terlihat kelelahan di antara kami hanya aku dan Erin, heheh sudah ku ceritakan di awal kalau kami memang mountainering amatir. Tapi tekad kami sudah bulat akan menyelesaikan pendakian sampai akhir, meskipun berkali-kali aku dan erin berhenti karena kelelahan tap tetap semangat untuk melanjutkan perjalanan.

Jalanan cukup terjal dan berbatu, asap belerang dimana-mana dengan bau yang menyengat. Dimana-mana terlihat asap, kawah belerangpun masih mendidih di ber-bagai tempat. Melipir kekanan kea rah puncak adalah jalan yang disarankan oleh Fahry selaku Tour Guide dan sweeper kami, dia selalu berjalan di belakang kami setelah menunjukkan rute jalan yang akan dilalui. Tapi tiba-tiba saja Fahry sudah berada jauh di depan kami, ternyata dia melewati jalan yang belum pernah dilalui oleh orang.

Kurang lebih dua setengah jam perjalanan, akhirnya tiba juga di tempat yang di tuju yaitu Taman Salada, para ikhwan segera mendirikan 2 tenda 1 untuk para akhwat dan 1 lagi untuk para ikhwannya. Sedangkan akhwat hanya duduk-duduk sambil melepas lelah, cengar-cengir sambil nyeletuk kami bantu do’a saja ya dari sini…heheh rukhshoh ne :P

Setelah tenda berdiri, Fahry langsung tidur bukan di dalamnya tapi di luar tenda. Aku dan Erin
berjalan-jalan di sekitar Camping

Ground sambil berfoto-foto, aku melihat aliran air sudah tidak ada yang ada hanya selang-selang besar dan kecil yang menyalurkan air dari puncak gunung ke rumah warga. Ada bebrapa selang yang bocor, dan bocoran air dari selang itulah yang bisa kami pakai untuk semuakebutuhan selama camping disana.

Tidak ada MCK!!! Wuaaaaaaahhhhh….risi juga sih pada awalnya, tapi heheh lama-lama biasa juga. Aku menekankan pada diri sendiri untuk tidak banyak makan, karena akan sangat repot jika ingin buang hajat.. Tidak seperti itu juga sih maksudnya, hanya saja aku sendiri yang merasa sangat risih.

Semakin malam semakin dingin bahkan cuaca sangat dingin, lebih dingin dari saat aku di Salabintana dulu sampai beberapa saat aku tidak bisa tidur meskipun sudah memakai baju tebal, sarung tangan, kaos kaki dan sleepingbag. Lebih menyedihkan lagi si Erin yang alergi dengan dingin, dia menggigil sepanjang malam, keaadannya sangat menghawatirkan malam itu. Mr. James, Mba Ida, dan Mr Steve mencari kayu bakar untuk api unggun sebanyak mungkin. Setelah itu kayu tersebut dibakar dengan menggunakan ilalang kering, lumayan untuk mengusir dingin sementara. Untuk menghangatkan tubuh kami bergerak terus didekat perapian, kemudian menyalakan kompor nesting yang sudah dibawa dari rumah 2 buah untuk memasak nasi, mie, dan air. Ada yang request kopi, kopi jahe dan jahe murni. Suasananya cukup rame…ada beberapa tim yang baru datang, belum sempat mereka mendirikan tenda hujan sudah mulai turun. Mereka ikut bergabung di tim kami untuk menghangatkan diri di depan perapian, sambil menikmati secangkir minuman hangat.Setelah hujan reda tendapun segera didirikan oleh mereka, sedangkan kami melanjutkan menghangatkan badan di sekitar api unggun. 

Langit beberapa saat cerah dan sesaat kemudian kembali berkabut, suasana seperti itu terjadi berulang-ulang. Saat cerah seperti di planetarium, bintang terlihat sangat dekat…Subhanallaaaaaaaaaaaah….indah sekalii!!!!!! Kami bertujuh rebahan di atas rumput sambil memandangi indahnya bintang di langit, tapi beberapa kali juga kami merasa kecewa karena selang 10 sampai 15 menit berganti suasana jadi gelap gulita oleh kabut.

Tepat pukul 22.00 kami masuk tenda untuk beristirahat, mba Ida yang memang tidak merencanakan untuk menginap hanya membawa perlengkapan seadanya. Tapi dia bilang sih kalau sudah biasa dengan cuaca seperti itu bahkan lebih dingin lagi saat di Perancis heheh….tapi buktinya dia tidak bisa tidur sampai pagi, bukan cuma Mba Ida saja sih Mr James, Mr Steve dan Aby juga yang kebetulan mereka tidak membawa sleepingbag. Maaf ya…untuk yang satu ini aku tidak bisa berbagi…heheh, ini saja masih terasa sangat dingin sekali. Pukul 01.00 aku terbangun karena saking dinginnya, sedangkan Erin alerginya kambuh sampai mengigau sepajang malam.

Aby membangunkan kami jam 04.00 untuk melihat sunrise, tapi keadaan di luar tenda berkabut tebal sampai tidak terlihat sekeliling kami. Yaaaaahh…kami berdiam diri di dalam tenda menunggu kabut memudar, sambil menunggu aku berwudhu dengan menggunakan persediaan air dari botol aqua yang dinginnya seperti baru dikeluarkan dari freezer. Kami sholat di luar tenda berjamaah Aku, Aby dan Fahry.

Kami merapikan perleng- kapan di dalam tenda, packing tas karena akan kami tinggal sementara untuk memburu sunrise. Pukul 05.00 kami berangkat menuju spot yang sudah direncanakan oleh Aby dan Fahry, spot yang tepat untuk mengintip sunrise hanya sekitar 20 menit perjalanan untuk mencapai tempat tersebut. Sesampainya di sana kabutnya tiba-tiba datang lagi kami mengira hari ini tidak bisa menyaksikan keindahan sunrise, tetapi ternyata Allah masih memberikan kesempatan kepada para hamba-Nya ini untuk mengagumi kebesaran-Nya sunrisepun dapat kami nikmati. Alhamdulillah ya sesuatu sekali..

Kami tidak melewatkan sedetikpun pandangan kami ke arah puncak dimana sang surya akan akan bergulir dari belakangnya tentu saja sambil mengabadikannya di kamera. Hanya ada satu tim terlihat selain kami untuk menyaksikan sunrise yang lain masih berada di tenda masing-masing. Setelah agak siang kami kembali ke tenda untuk membuat sarapan, Mr Steve dan Mba Ida berpamitan kepada kami karena semalaman tidak tidur khawatir staminanya tidak cukup kuat untuk mencapai puncak Taman Edelweis yang menjadi tujuan kami selanjutnya. Untuk kenang-kenangan kami berfoto bersama beberapa kali sebelum mereka pulang, tukar nomor hp, skype dan alamat email. Mba Ida menawarkan penginapan gratis apabila kami berkunjung ke Perancis, WOW…..mungkinkah? Insyaallah…

Setelah kepergian Mr Steve dan Mba Ida Aku dan Erin mu-lai memasak, pecel sayur dan nasi goreng….’tepok jidat’ ga nyambung banget kan kombinasi makanannya, tapi apa boleh buat daripada lemes kelaperan? Mr James dan Aby mem-bongkar tenda sedangkan Fahry mencuci perlengkapan yang kotor. Hanya membutuhkan waktu 30 menit saja, masakan tersebut sudah siap untuk disantap kamipun dengan sedikit rakus segera menuntaskan semua yang telah dimasak. Segera kami merapikan semua barang bawaan, setelah dirasa ready to go tentu saja tanpa meninggalkan sampah sedikitpun di camping Ground tersebut kami menuruni puncak menuju puncak Tegal Alun dimana terdaapat Taman Edelweis. Melewati hutan ‘mati’ pohonnya mati dikarenakan aliran lahar saat meletusnya gunung ini pada tahun 2003 silam.

Sebetulnya arah menuju Tegal Alun dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu Hutan Mati dan Sungai Kering/ Bebatuan. Dua tahun yang lalu Aby dan Fahry sudah pernah melewati bebatuan, kata mereka jalur tersebut sangat terjal dan bcukup memutar arah. Maka dari itu mereka menyarankan untuk mendaki melalui kawasan Hutan Mati karena jalurnya lebih jelas dan menurut mereka tidak cukup terjal padahal sangat terjal sekali menurutku…. hiks

Setelah melalui hutan mati, akhirnya kami sampai di tanjakan terakhir yang paling terjal menuju Tegal Alun. Tanjakan ini memasuki hutan hijau, dan jalurnya sangat jelas. Di jalan kami bertemu dengan mahasiswa STAN 4 orang dengan perlengkapan yang cukup simple karena mereka tidak menginap. Kadang-kadang mereka yang di depan kami dan kadang kami yang di depan mereka tergantung lamanya beristirahat.

Di sepanjang perjalanan, orang yang paling fit tidak pernah mengeluh kelelahan adalah Fahry dan Mr James. Mr James yang notabene seorang atlet marathon selalu berlari duluan jauh di depan kami, tidak peduli tanjakan maupun turunan kamudian beliau beristirahat sambil menunggu kami mencapai tempatnya. Begitu terus berlangsung dari awal sampai pulangnya.

Alhamdulilah…finally, kami mencapai puncak gunung tersebut. Begitu keluar dari hutan yang terlihat adalah padang edelweiss yang sangat luas dengan tanah yang masih tertutup debu vulkanik. Di sini kami bertemu dengan para pecinta alam dari berbagai daerah, mereka sedang memasak sambil menunggu rombongan yang akan mereka pandu nantinya. Mereka juga membuat api unggun di tengah padang edelweiss tersebut karena meskipun hari sudah siang udaranya sangat dingin dan berkabut, kamipun minta ijin untuk bergabung dengan mereka.

Kamipun bertukar pengalaman sambil menikmati minuman hangat dan camilan yang kami bawa, suasana terasa akrab seperti sudah mengenal lama satu sama lain. Kurang lebih dua jam berada di Tegal Alun, berfoto-foto bersama bunga edelweiss kamipun turun melalui jalur sama seperti jalur pendakian tadi. Karena turunan sangat curam, Aku dan Erin beberapa kali terpeleset dan jatuh. Hhaha…tapi Erin yang lebih sering terpeleset daripada aku, kemungkinan factor sandal gunung yang dia pakai agak licin dan juga keseimbangan tubuhnya.

Lebih cepat turun daripada mendaki tadi, kami sudah sampai di hutan mati lagi hanya 30 menit saja. Hutan mati yang kami lalui sangat luas, terdapat bekas aliran sungai atau mungkin lahar yang sudah kering. Di dalam hutan mati ini berasa seperti bukan di Indonesia, asing bagi kami. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di daerah ini sungguh kontras dengan hutan hidup yang barusan kami lalui. Sampai di padang pasir putih, kami beristirahat sejenak Mr James terlihat bergerak dari satu titik ke suatu titik berulang-ulang. Begitu mendekati beliau tahulah aku apa yang sedang dikerjakannya, membuat tulisan dari batu ‘Leena’ nama istrinya. 

Heheh…aku dan Erin segera berbuat hal yang serupa, membuat nama masing-masing setelah selesai kamipun mengabadikannya termasuk Mr James juga.

Waduhhhhh….turunan lagi!!!! Lebih curam dari yang Tegal Alun, dan jalanannya berupa pasir ‘Bismillah….semoga selamat’, dengan perlahan-lahan menuruni tebing. Rem kaki harus benar-benar pakem, kalau tidak bisa-bisa terperosok jauh ke dasar bukit seperti yang dialami oleh salah seorang mahasiswa STAN sampai celana jeansnya robek di bagian belakang. Hiiii…….ngeri!!!! Jadi lebih hati-hati lagi jalannya, meski begitu tetap saja masih jatuh berkali-kali. Akhirnya sampai juga di jalan yang tidak terlalu curam, tapi masih berpasir dan berpotensi menjatuhkan orang yang melaluinya. Buktinya aku tetap terjatuh lagi berkali-kali, waduuuuuuh…..tapi tidak parah kok!

Well, Alhamdulillah kami tiba di parkiran dengan selamat.

PULANG
Setibanya di parkiran, Aby langsung mencari sopir dolak untuk booking yang akan membawa kami ke pertigaan Cisurupan nanti setelah istirahat. Baru 10 menit istirahat, sang sopir sudah memanggil-manggil dan meneriakkan dolak akan segera berangkat. Selama perjalanan aku tidak banyak mengeluarkan suara karena sangat lelah, berbeda dengan Erin dia bertanya-tanya pada sopir nama tanaman, nama tempat dan masih banyak lagi kebetulan kami duduk di samping pak sopir. Tak terasa sudah sampai di Pertigaan Cisurupan, disana sudah ada angkot menuju terminal Cicaheum kamipun langsung menaikinya.

Pukul 17.00 sampai di terminal, kami bergantian mandi di WC Umum waktu berangkat sabtu kemarin sekalian sholat Ashar. Semua sudah segar! kecuali Mr James yang tetap bertahan untuk tidak mandi. Ada bus Cicaheum-Kampung Rambutan sedang mangkal di dekat kami berada, segera saja kami menaikinya. Di dalam bus kami makan siomay sambil melihat hasil bidikan kamera selama di Papandayan. Puas sekali rasanya…..Dan kamipun tertidur sepanjang jalan sampai di Terminal Kampung Rambutan.

Mr james sudah dijemput sama sopirnya, Si Fahry naik ojek ke Pasar Rebo untuk mencari bus Kebon Jeruk sedangkan Aku, Erin dan Aby akhirnya naik taksi setelah berputar-putar mencari bus Ciledug yang ternyata sudah beristirahat tidak ‘narik’ lagi.

Finally kami tiba di rumah masing-masing dengan selamat, meskipun letih tapi merasa sangat puas dengan keindahan Papandayan yang sangat menakubkan. Besok adalah hari senin, aktivitas rutin sudah menanti…. Tetap SemangaT!!!!

Alhamdulillah ya Allah sudah diberi kesempatan untuk melihat kebesaranMu di Papandayan, terimakasih Erin, Aby, Fahry, Mr James, Mr Steve, Mba Ida dan beberapa sahabat baru kami.. NICE TRIP!

Cerpen Karangan: Rusmiyati Suyuti

Persahabatan yang Abadi


Sebut saja Iqbal, laki-laki berumur 13 tahun. Ia terlahir dengan satu ginjal. Saat dia berumur 4 tahun, dokter mengatakan, bahwa ginjalnya yang dapat berfungsi, hanya satu. Tentu saja, “Lelah” menjadi pantangan dalam hidupnya. Senyum indah tak selalu hadir di bibirnya. Dalam satu hari, 32 suntikan injeksi harus menancap tajam di kulitnya, untuk mengatasi rasa sakit. Ia sangat memimpikan kehidupan normal seperti yang lain pada umumnya. Tapi, sahabat sejatinya, Horan, selalu membuat hidup Iqbal penuh semangat. Horan selalu mengatakan, “Hanya memiliki satu ginjal, tak akan membuatmu kehilangan hak untuk dapat hidup normal” Itu membuat Iqbal merasa bahagia.

Suatu hari, Iqbal terlihat sangat lemas. Horan yang melihatnya, tak dapat menahan rasa iba.
“Ada apa?” tanya Horan.
“Tidak, aku tak apa-apa.” jawab Iqbal
“Hey, sudah kubilang jangan ikut pelajaran olahraga!” kata Horan.
“Ah, aku hanya ingin mencoba melakukan itu. Apa salah? Satu kali saja.” jawab Iqbal
Suasana pun terhening.
“Ya, aku tau. Tapi kondisimu sangat tidak memungkinkan, kau tau itu?” jawab Horan
“Aku sangat tau itu, Horan.”
“Sudahlah, kau ingin persahabatan kita berakhir hanya karena pelajaran olahraga?” sambung Iqbal sembari meninggalkan Horan. Horan terlihat sangat kecewa mendengar jawaban sahabatnya.
“Aku tak tau apa yang harus kulakukan untukmu, sobat. Aku hanya bisa mengingatkan kondisimu, tak ada yang lain” kata Horan dalam hati.
Hari-hari Iqbal, sungguh sangat menyedihkan. Tapi, Iqbal tak pernah menunjukkan itu.Apalagi, di depan sahabatnya, Horan.
Hari itu, Iqbal sedang belajar kelompok di rumah Horan. Horan sudah lama menceritakan tentang Iqbal kepada Ibunya. Ibu Horan, sudah menganggap Iqbal seperti anaknya sendiri, sejak kedua orang tua Iqbal meninggal dunia. Iqbal tinggal bersama Bibinya sejak itu.
“Horan, kau itu.. sahabat sejatiku” kata Iqbal dengan senyum
Tiba-tiba saja, Iqbal merasa kesakitan. Horan dan ibunya sangat kebingungan. Mereka pun memutuskan untuk membawa Iqbal ke rumah sakit.
Saat di rumah sakit, Dokter mengatakan kepada Ibu Horan, bahwa keadaan Iqbal semakin parah. Satu-satunya jalan untuk mengatasinya, adalah pendonoran ginjal. Horan mendengar itu. Ia segera berkata kepada Ibunya,
“Ibu, biarkan aku yang melakukan itu.”
“Nak, apa kau sungguh-sungguh?” tanya Ibu Horan dengan sedih.
“Tentu, Bu. Iqbal sudah ku anggap seperti saudara sendiri. Ibu juga,sudah menganggapnya sebagai anak ibu. Apa ibu tega membiarkan Iqbal merasa kesakitan terus setiap harinya?” Horan menanggapi.
Sementara Iqbal, belum tersadar. “Baiklah” jawab Ibu Horan sambil memeluk Horan.
Pendonoran pun berlangsung sekitar 2 jam, dan itu berhasil.Horan dan Iqbal saling menatap di atas kasur rumah sakit mereka.
“Hey, Horan,apa yang kau lakukan di sini?” tanya Iqbal lemas.
“Hey, Iqbal. Impianmu akan segera tercapai, sobat. Kau akan merasakan nikmatnya hidup normal bersama aku dan keluargamu” jawab Horan.
“Bagaimana bisa?” tanya Iqbal
“Sudahlah.. jangan pikirkan itu. Yang penting, sekarang kamu dapat hidup dengan bahagia” jawab Horan tak berdaya.
Setelah pendonoran itu, Iqbal dan Horan pun dapat bergembira bersama. Mereka, lebih dekat dibandingkan siapapun.
5 bulan kemudian, Horan pun meninggal dunia. Semua menangisi kepergiannya, terutama Iqbal. Horan meninggalkan keluarganya. Ibu menjelaskan apa yang telah Horan lakukan untuknya, dan juga selama ini dia rahasiakan kepada Iqbal.
Iqbal tercengang. Ia tak tau apa yang harus ia lakukan untuk membalas kebaikan Horan. Ia tak dapat berhenti menangisi kepergian Horan.
“Selamat Jalan.. Horan. Bahagialah di sana, aku akan berusaha untuk menyusulmu dengan senyuman nanti, dan membalas kebaikanmu” Iqbal pun terisak.

Selesai
Cerpen Karangan: Annisa Berliana Dewi

Sorry, I Love U


Tit….Tit…Tit….
Terdengar suara klakson yang mengagetkan Icha dari lamunannya. “itu pasti adit” batinnya dalam hati. Ichapun mengambil tasnya dan berlari kedepan,,, tapi Icha lebih kaget lagi saat tiba di depan. NIHIL,,,Tak ada adit dengan motor sport birunya disana.
“Hmmm….aku terlalu berharap kalau adit akan datang buat jemput aku…padahal itu ga’ mungkin terjadi. Adit udah terlanjur benci sama aku dan mungkin ,,,dia udah ga’ mau sahabatan lagi sama aku”. Icha menarik napas panjang lalu menghembusnya kembali. Ia lalu memutuskan untuk pergi jalan kaki saja. Tanpa terasa Icha sudah sampai di sekolah. Ia berjalan perlahan,,,selangkah demi selangkah. Diperhatikannya anak-anak di sekelilingnya. Mereka pada happy semua,, bercanda dengan teman dan asyik ngobrol tantang hal yang menyenangkan. Semuanya berbanding terbalik dengan keadaan Icha sekarang. Icha kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya sebagai sahabat sekaligus cowok yang sangat Icha sayang.
Icha menyesal sudah bohong sama adit tentang surat yang dititipin adit buat Hanna kemaren. Hanna itu cewex yang di taksir adit. Icha ga’ pernah menyampaikan surat itu ke Hanna, bahkan surat itu dibuang oleh Icha ke tempat sampah tapi sialnya adit malah menemukan surat itu.
“dit,,,aku akan ngelakuin apa aja sampai kamu mau balik lagi sahabatan lagi sama aku,,, aku janji” keluh Icha lalu berlalu dari kelas. Di kantin Icha bertemu Hanna. Icha langsung minta ma’af ke Hanna dan mengatakan yang sebenarnya tentang adit.
“Hanna,,, maafin aku ya,,, aku yang salah. Adit bener-benar sayang sama kamu. Dia rela ngelakuin apa aja buat kamu,,, dia rela merubah penampilannya buat dapat perhatian kamu,,, aku harap kamu mau beri dia kesempatan sekali lagi,,,dia sayang banget sama kamu,,,”
“hmmm,,, aku akan beri dia kesempatan sekali lagi” balas Hanna dengan tersenyum
Malam minggu ini adalah malam minggu terakhir bagi Icha,,, karena malam ini adit pasti akan nyatain cintanya ke Hanna dan Hanna pasti akan dengan senang hati menerimanya. Mereka akan resmi jadian dan mulai besok anak-anak di sekolah pasti pada sudah tau semuanya,,, berarti ga’ ada kesempatan lagi buat Icha deketin adit meskipun semua orang tau kalau mereka itu sahabatan. Sampai larut malam,, Icha tetap ga’ bisa tidur,,, masih mikirin adit dan hanna yang pasti mereka adalah pasangan yang sangat serasi seantero sekolah,,, hmmmmmm,,, Icha jadi sedih memikirkannya.
Saat pulang sekolah,,,
“Dit,,, Icha itu baik banget ya,,, dia kemaren minta ma’af ke aku soal surat itu,,, bahkan dia jelasin semuanya tentang kamu ke aku,,, dia bilang kalau kamu sangat menyayangi aku,,, kamu merubah penampilanmu Cuma buat aku,,, aku jadi kagum sama dia,,, ternyata dia itu cewek yang bertanggung jawab,,, meskipun dia tau melepaskan kamu itu sangat menyakitkan hatinya,,, “
“kenapa kamu ngomongin dia lagi sih,,, pokoknya aku ga’ mau kamu ngomong tentang dia lagi,,, sekali bo’ong,,tetap aja bo’ong,,, ya udah, kamu pasti haus kan??? Tunggu di sini biar aku beliin minum dulu,,,”. adit pun meninggalkan Hanna sendiri di jalan.
Saat adit kembali untuk menemui Hanna,,, ia kaget banget,,, soalnya kerumunan orang berada di tempat ia meninggal Hanna tadi,,, ternyata Hanna kecelakaan,,, tubuhnya berlumuran darah,,, segera taaemin membawa Hanna ke rumah sakit terdekat,,, tapi dalam perjalanan ke rumah sakit Hanna sudah menghembuskan napas terakhirnya,,,, ia meninggal di pangkuan adit,,, cowok yang baru jadi pacarnya itu,,,
Kuburan itu kini masih basah,,, di atasnya terdapat banyak karangan bunga,,,, di dalamnya terbaringlah seorang gadis cantik, baik hati yg tak lain adalah Hanna,,,
Semenjak meninggalnya Hanna,,, semenjak itu pula adit jadi sering menyendiri,,,, kenangannya singkatnya bersama Hanna masih teringat jelas,,, hingga pada sore hari,,,
“Eh Icha,,, sini masuk,,,”
“iya tante,,, qox sepi tan,, Adit mana???”
“ada di kamar,,, udah beberapa hari ini,,, dia jarang keluar rumah,,, tante jadi bingung dibuat nya,,,”
“ouh,,, Icha ketemu adit dulu ya tan”
Sepi,,, Icha coba ketok pintu,,,, tapi ga da jawaban dari adit,,
“Dit,,, ini aku Icha,, aku mau ngomong sama kamu, aku masuk yaa”
Tetap ga da jawaban dari adit,,, mungkin adit sudah marah besar,,, sampai’’ ga mau ngomong sedikitpun.
“dit ,,, aku tau aku salah,, aku minta ma’f. Aku juga ikut sedih atas kejadian itu,,, tapi..” Icha ga sempat meneruskan bicaranya karna di sanggah oleh adit
“Salah kamu karena kamu udah bo’ong sama aku kalau kamu ga pernah kasih surat itu ke Hanna,,, kalau aku udah kasih ke Hanna surat itu dari kemaren mungkin aku udah pacaran lama sama Hanna dan Hanna bisa bahagia,,, kamu liat kan,,, aku baru sehari pacaran, Hanna udah,,,” jawab adit dari dalam kamarnya dengan suara lantang
“Dit,,, aku minta ma’f, aku ga tau kalau bakal begini jadinya,,, aku ga tau kalau Hanna harus pergi secepat itu,,, lagian,,,” lagi-lagi bicara nya dipotong oleh adit
“Lagian apa??? kamu seneng Hanna meninggal,,, karna ga da yang bakal nyaingin kamu lagi buat deket sama aku,,, iyakan?? Brengsek kamu Icha,,, HAAAAAA”
Mendengar kata kasar yang keluar dari mulut adit itu,,, Icha langsung berlari keluar. Sebelumnya adit ga pernah berkata sekasar itu sama Icha,,,
Tangis Icha ga bisa di bendung. Mungkin ini yang terakhir kalinya ia bisa melihat adit. Adit pasti makin membencinya.
Disekolah,,,
Icha sedang berada di ruang kepala sekolah, sepertinya ada sesuatu yang penting yang sedang ia bicarakan dengan Pak Kepsek,,, yah Icha sedang mengajukan surat pengunduran diri dari sekolah karena ia akan pindah ke sekolah yang lain. Ia akan pulang ke rumah ibunya yang ada di Bandung dan bersekolah disana. Tak lama kemudian Icha keluar dari ruangan Kepsek, tanpa ia ketahui adit bersembunyi di balik pintu sedari tadi dan dia mendengar semua yang di bicarakan oleh Icha. Icha berjalan melalui koridor sekolah, dilihatnya anak-anak yang sedang asyik bercanda dan bermain bersama itu,,, hatinya sedih karena mengingatkan ia dengan adit. Ia pun melanjutkan perjalanan,,, tapi langkahnya terhenti ketika sebuah suara memanggilnya,,, suara yang sangat familiar di telinganya,,, suara Adit
“Icha”
Icha diam sejenak kemudian melanjutkan langkahnya.
“Icha,,, tunggu” panggil adit lagi
Icha pun menoleh.
“Apa???” tanyanya singkat
“Kau hanya bercandakan dengan semua yang kau bicarakan tadi???” tanya adit
“Apa??? Aku tidak merasa bicara dengan mu hari ini??? Bukan kah kau tidak mau lihat muka ku lagi?? Trus kenapa kau ada disini???” Icha balik nanya
“Aku dengar semuanya yang kau bicarakan di ruang kepala sekolah tadi,,, kau benar akan pindah sekolah???”
“Menurut mu???” Icha berbalik tapi adit langsung meraih tangannya
“Dit,,, Bukannya kau yang bilang, kau ga mau liat muka ku lagi,, jadi buat apa aku masih ada di sini??? Udah lah,,, aku harus pergi sekarang” kata Icha melepaskan tangannya dari genggaman adit
“Ichaaaa” teriak adit
Tapi Icha tak mempedulikannya,,, ia terus berjalan keluar gerbang meninggalkan adit sendirian. Adit pun marah pada dirinya sendiri, karena sikapnya selama ini pada Icha, membuat Icha harus memutuskan untuk pergi meninggalkannya.
ARRGGHHHHHHHHH
Di Bandara,,,
Tampak Icha sedang duduk di kursi tunggu sambil menyedot minuman Jus yang ada di tangannya. Tak lama kemudian,,, panggilan bagi penumpang tujuan keberangkatan Bandung. Penumpang lainnya sudah memasuki Pesawat,,, tapi sepertinya Icha sepertinya sedang menunggu seseorang.
Ia berkali-kali menoleh ke belakang,,, berharap seseorang datang untuknya. Tapi tetap saja nihil. Orang yang ia harapkan untuk datang,,, tak juga datang. Icha pun memutuskan untuk masuk,,, ketika tiba-tiba sebuah suara memanggilnya. Lagi-lagi ia sangat mengenal suara itu. ADIT
Icha menoleh dengan senyum yang mengembang di kedua belah pipinya. Orang yang ia harapkan untuk datang akhirnya datang menemuinya, walaupun baginya ini adalah pertemuan terakhir tapi setidaknya ia bisa melihat Adit uutuk terakhir kalinya.
Adit berlari ke arahnya. Icha berniat untuk memeluk adit, tapi niatnya itu ia urungkan. Ia hanya bisa diam melihat adit walaupun sebenarnya ia senang dengan kedatangan adit. Tapi entah kenapa, kali ini adit yg memeluknya, sepertinya adit ga mau kehilangan Icha.
“Maaf,,,,” itulah kata yg keluar dari mulut adit
Icha yg merasa risih karna adit belum melepaskan pelukannya berusaha membebaskan diri dari pelukan adit, meskipun sebenarnya ia sangat senang.
“Dit,,, lepaskan aku,,, aku ga bisa napas” kata Icha sambil berusaha melepaskan pelukan adit. Tapi sepertinya adit malah mempererat pelukannya.
“Dit,,, kau mau membunuhku ya??? Aku ga bisa bernapas,,,” teriak Icha
Akhirnya adit mau melepaskan pelukannya, kemudian ia tertawa kecil.
“Jangan pergi ya,,, kau pikir gimana hidup ku nanti tanpa mu???” kata adit menggoda
“Emang hidupmu gimana tanpa aku???” tanya Icha
“Aku pasti akan mati,,, seperti ikan kalau jauh dari air. Aku ikannya,,, kamu airnya,,, jadi kalau air ga ada,,, pastti ikan akan mati. Apa kau mau aku mati???” tanya adit
Hhhhhmmm,,,,,,
“Gimana dengan tiket pesawat ku??? apa kau mau mengganti rugi uang ku???”
Adit ga menjawab, dia malah memeluk Icha lagi. Sampai akhirnya Icha dinyatakan ketinggalan pesawat. Tapi ia senang meskipun harus kehilangan uang,, tak sebanding dengan kehadiran adit lagi disisinya,,,
SORRY,,, I LOVE YOU
Dug,,, jantung Icha seakan berhenti berdetak mendengar kalimat singkat tapi pasti yg diucapkan oleh adit itu. Adit bilang suka ke Icha. Itu bagai mimpi. Tapi itulah kenyataannya. Ternyata adit udah menyukai Icha sejak pertama mereka bertemu. hanya saja waktu itu, Icha sempat mengatakan bahwa adit adalah teman pertama dan terakhirnya makanya adit mengurungkan niat untuk bilang cinta ke Icha.
Akhirnya Icha mendapatkan kembali Adit, sahabat sekaligus merangkap sebagai pacar dalam kehidupannya itu. Adit yg sudah ia taksir sejak pertama ketemu.
Profil Penulis:
Nurhayati,,,Mahasiswa di salah satu Universitas di Pekanbaru, Riau, UIN Sultan Syarif Kasim Riau. Jurusan Ekonomi Islam.

3 Sahabat

Pada suatu hari tinggallah seorang anak yang bernama Kayla. Dia tinggal di Bogor baru pindah dari Jakarta.
Suatu hari dia akan bersekolah.
Ibu: “Kayla bangun cepat, mandi nak!”
Kayla: “Kya, bu”
(Kayla pun segera mandi dan berganti baju)
Kayla: “Bu, tolong ambilin seragam bu, di kamar Bi lis”
Ibu: “Minta tolong aja sma bi lis, ibu lagi masak
Kayla: “Iya, bu, Bi lis tolong ambilin seragam kayla!”
Bi lis: “Iya, non, sebentar”
(setelah memakai seragam, Kayla pun langsung sarapan, sesampainya di sekolah, kayla pun bertemu dengan2 orang murid baru dan langsung berkenalan).
Kayla : “assalamualaikum, hai nama kalian siapa?”
Keysya dan Kirana : “wa’alaikum salam namaku Keysya dan aku Kirana, namamu siapa?”
Kayla: “namaku kayla, salam kenal ya”
Keysya dan Kirana : “salam kenal juga.”
(sudah lama berkenalan bel masuk pun berbunyi. mereka langsung berbaris dengan rapi masuk kelas dan pelajaran pertama adalah pelajaran dari wali kelasnya bernma bu Ani).………………………….
setelah pelajaran selesai mereka pun pulang, mereka pun menujulapangan sambil melanjutkan pembicaraan).
Kayla : “bagaimana kalau kita jadi sahabat?”
Keysya dan Kirana :”setuju”
Kayla : “tapi nama sahabatnya apa ?”
Kirana dan Keysya:”Muslimah girls aja !”
Kayla:’setuju.”
(mereka pun pulang bersama-sama dengan menaiki angkot menuju toko buku).
Sopir angkut : “mau ke mna,dik?”
Keysya:: “mau ketoko buku raja murah, berapa pak jadinya tiga orang?”
Sopir angkot: “empat ribu lima ratus, dik ?”
(keysya pun langsung membayarnya)
kayla: “makasih, ya sya?”
kirana: “makasih, yha kak ??”
keysya; “ya, sma sama”
(sesampainya di toko buku mereka pun langsung berpencar mencari buku masing-masing ).
kayla: “kita kumpul di kasir “A”
Kirana DAN Keysya : “yupp…”
(di tempat kayla tiba tiba muncul seseorang yang tidak di kenal dan mencurigakan mengambil sompet kayla bruntung keysya dapat memotret pencuri itu). sesampainya d kasir
kayla : “hiks…hiks….. dompet ku hilang .”
keysya : “tenang ya kayla aku sdh memotret wajah pencuri itu ”
kayla: “makasih yha sya?”
keysya : “sekarang kmu pake uang akhu dulu yha”
kayla: “maksih banyak bnget yhaa sya ?”…………………..
(setelah keluar dari toko buku, kayla, keysya & kirana menemui polwan).
keysya: bu maaf mengganggu bisa bantu kmi gk ??
polwan: “owh iya,dik saya insya allah bisabantu /”
keysya: ini bu teman saya kecopetan bu ?
polwan: maaf yha dik sya gk bsa bantu kalau gk ad ciri – cirinya
keysya: sya punya fotonya kog bu
polwan: bleh saya lihat fotox dik ?
keysya:oh,tentu bleh, ini bu ?’
polwan: ini pencuri gelandangan yg sering kabur
ayo kita selidiki………….!
keysya: ayo…..
(setelah lama di cari akhirnya tertangkap juga pencuri itu ).
pencuri: ampun… ampun…. maaf kan sayabu polisi…
kayla: makasih yha sya, bu terimakasih sekali
polwan dan keysya: iyha, makanya lain kali hati hati….

Cerpen Karangan: Zahra Meilanie

Rubah Tak Berekor


Rubah Tak Berekor
Di sebuah pedalaman, banyak pemburu yang sengaja memasang perangkap untuk menangkap binatang buruanya. Perangkap yang di pasang beraneka ragam, sesuai dengan buruan mereka. Ada yang kecil untuk menangkap kelinci, hingga yang besar untuk menangkap seekor beruang.

Pada suatu ketika, seekor rubah memasuki hutan yang penuh dengan perangkap tersebut. Tanpa disadarinya, sebuah perangkap yang terbuat dari penjepit besi hampir saja menebas lehernya. Untung saja dia cepat bereaksi, namun ekornya terhimpit gerigi besi perangkap itu. Dengan susah payah dia berusaha melepaskannya, apabila terlambat nyawanya pasti melayang ditangkap atau ditembak pemburu liar di hutan itu. Dengan meronta-ronta kesakitan, ia akhirnya dapat melepaskan diri dari perangkap tersebut. Namun sayangnya dia harus mengorbankan ekornya yang terpotong.

Dengan rasa kesakitan, rubah itu menghilang dan bersembunyi di pinggiran hutan untuk menyembuhkan luka pada ekornya. Selang beberapa lama ia berdiam di situ, lukanyapun sembuh. Karena menahan lapar selama bersembunyi, rubah itu memutuskan untuk tetap memberanikan diri memasuki hutan yang penuh dengan perangkap itu. Pada saat ia hendak memasuki hutan, terlihat sekawanan rubah lain sedang bergerombol di situ. Ia pun mengurungkan niat, karena ekornya yang sekarang tidak dimilikinya. Dalam hatinya ia berkata,”Aku pasti terlihat sangat jelek apabila bergabung bersama mereka, aku pasti ditertawakan karena ekorku telah terpotong. Apakah aku masih disebut sebagai seekor rubah ? Dapat saja mereka tidak mengenaliku bahkan dapat menyerangku karena terlihat asing dan aneh bagi mereka.”

Ia pun berpikir keras, untuk mendapatkan sebuah rencana, agar dapat diterima kembali dalam kawanan rubah itu. Tak memerlukan waktu lama, rubah itu mendapatkan suatu rencana, dan bermaksud akan menghampiri kawanan rubah itu pada malam hari agar bentuk tubuhnya tidak terlihat jelas.

Malampun tiba, rubah itu segera menghampiri kawanan rubah. “Selamat malam kawan-kawanku, apakah kalian memiliki sedikit makanan untuku ? Aku berjalan cukup jauh menuju tempat ini, namun tidak satupun makanan kudapati”, Sapanya berterus terang. Medengar suara rubah tanpa ekor itu, pemimpin kawanan rubah menghampirinya. “Bukankah saya mengenal engkau ? Engkau adalah rubah dari hutan ini juga seperti halnya kita semua di sini, mengapa engkau berkata tidak memiliki makanan sedangkan disini banyak makanan yang tersisa dari hasil pemburu liar. Ambilah beberap potong daging kelinci yang tersedia untuk memanaskan tubuhmu yang kelaparan itu.” Kata sang pemimpin.

Rubah tanpa ekor itupun segera mengambil beberapa potong daging kelinci yang tersisa untuk di makan. Karena begitu lapar, dia lupa bahwa bentuk tubuhnya dapat terlihat dengan jelas dibawah sinar bulan pada malam hari itu. “tunggu dulu !” Kata si pemimpin, “Kenapa engkau tidak memiliki ekor seperti kami ? jangan-jangan engkau bukanlah kawanan kami seperti yang tadi saya katakana.” Rubah tanpa ekorpun menyadari bahwa bentuk tubuhnya telah terlihat, namun dengan rencana liciknya dia langsung menjawab, “ya, saya memang berasal dari kawanan ini, namun beberapa hari yang lalu saya meninggalkan hutan ini, menuruni lembah dan menemui kawanan rubah baru. Waktu saya menemui mereka, saya disambut dengan sangat ramah. Mereka terlihat gagah dan cantik walau tanpa menggunakan ekor. Oleh sebab itu, saya memutuskan untuk memotong ekor saya, agar dapat terlihat gagah seperti mereka. Apabila kalian ingin terlihat gagah dan cantik seperti saya, kalian juga dapat membuang ekor kalian”.

Mendengar ucapan rubah tanpa ekor itu, seketika itu juga kawanan rubah menertawainya. “Bagaimana mungkin engkau dapat dikatakan rubah, kalau tidak memiliki ekor ? Justeru rubah yang menggunakan ekor adalah rubah yang terlihat gagah dan cantik,” kata seekor rubah dari kawanan itu. “Hentikan omong kosong mu rubah tak berekor! “, bentak sang pemimpin kawanan rubah. “Saya akan mengijinkan engkau menghabisi sisa makananmu, namun dengan satu syarat, setelah itu engkau harus pergi dari hutan ini dan bergabung dengan rubah khayalanmu itu”. Mendengar perkataan itu, rubah tak berekor menjadi malu dan berlalu dari kawanan rubah sambil membawa sepotong daging kelinci yang tersisa.

Kawanan rubah yang lain, melanjutkan tidurnya. Mereka bersyukur telah terhindar dari bujuk rayu rubah tak berekor yang licik itu.

Dari cerita ini, kita diingatkan bahwa tidak semua perbuatan licik dapat berjalan dengan lancar. Suatu waktu, mereka yang kerap berbuat licik akan ketahuan belangnya dan dipermalukan bahkan ditinggalkan orang-orang yang dekat denganya.

Cerpen Karangan: Damas

Si Buntung dan Putri Mutiara

Di sebuah pulau kecil nan terpencil,., kehidupan masyarakatnya adalah kebudayaan nelayan dan petani..di sebelah timur pulau itu dominan masyarakat terjun kelaut sebagai nelayan, dan sebelah barat pulau dominan pertanian… dari setiap kebudayaan, masyarakat ini selalu mengadakan upacara adat sebagai penghormatan terhadap dewa dan dewi mereka..

Dari desa petani lahir seorang anak laki laki yang berbadan mungil, dia terlahir tanpa kedua tangan. walau tak memiliki tangan laki laki ini adalah pemuda yang giat bekerja. dia menghidupi ibunya yang sudah renta dan buta.. setiap hari pemuda mungil dan tak bertangan ini menggarap sawah berhektar hektar, memanen hasil kebun dan menjualnya ke pasar.

Sebelah barat pulau, tradisi nelayan yang eksotik dan kompleks memiliki seorang wanita cantik dan tak kurang satu apapun..bahkan dia di anggap dewi oleh sebagian besar pemuda di desa nelayan tersebut. sang gadis bernama DWITA PUSPA HATI ini mahir dalam membuat perlengkapan menagkap ikan, walau terlahir dari keluarga ningrat ( KEPALA SUKU,red) sang putri adalah sosok wanita yang santun dan baik hati, penyayang binatang dan memiliki kelebihan mampu berbicara dengan ikan di laut.
****

Sampai pada perayaan Tahunan Yaitu perpaduan kedua budaya, masyarakat pulau ini ternya mengasimilasikan kebuayaan mereka. acar besar ini selalu di meriahkan dengan makan besar dari pihak nelayan menyediakan hasil alam yang terbaik, sedang dari pihak petani menyediakan nasi dan aneka hasil tanam terbaik nya.. Tepat pada hari ke-3 minggu ke-3 bulan ke3 tiap tahunnya, pembukaan di buka dengan tarian tarian dan aneka kesenian lainnya..

pada acara ini merupakan ajang mencari jodoh dari kedua belah kubu.. tariam nuda mudi ini ditungu tunggu kawula muda.tak terkecualisang sang gadis desa nelayan dan pemuda desa petani.. setiap pemuda akan mengeluarkan segala kretifitas untuk menarik perhatian para gadis, pun tak mau kalah gadis gadis berdandan semenarik dan secantik mungkin..

berbeda dengan san pemuda cacat, dia tidak melakukan hal yang umum dilakukan oleh pemuda normal, dan putri itupun tidak melakukan yang gadis lain umum lakukan.. sang pemuda hanya tampil seadanya, namun dengan badan yang kekar dan berminyak, karena setiap hari dibakar oleh sengatan matahari. sang putri cantik pun tampil seadanya, hanya bermodalkan kalung mutiara yang di buatnya sendir, tetap manis dan memukau seisi pulau..

DUNG DUNG DUNG..PAK PAK TING DUNG… suara iringan genderang dan berbagai alat musik alam terdengar, menandakan acara di mulai.. kemeriahan dan kebahagiaan tak terbendung lagi di pulau itu, semuanya menari semuanya bernyanyi. selama 3 hari dan tiga malam acara berlangsung sampai pada akhirnya ritual penunjukan pasangan oleh kaum wanita. para gadis meiliki hak untuk menentukan pilihan siapa laki laki yang hendak dipilihnya.

singkat cerita tak seorang pun yang memilih laki laki cacat tadi, dan yang terakhir memilih adalah putri cantik itu..tak pelak semua mata tertuju dan perasaan berdebar.. waktu serasa berjalan lambat dan berhenti sejenak.. putri menunjuk laki laki cacat itu, semua yang hadir berteriak kecewa dan banyak cacian dan makian yang keluar, kata-2 tidak puas berjuta terlempar. laki laki cacat itu hanya diam dan memberikan sedikit senyuman berjuta makna, tapi semua orang harus menghormati adat.jadi pada akhirnya semua bisa menerima walau banyak yang dongkol..
***

Ternyata dibalik semua ini, ada cerita lain mengapa putri itu memilih sang pria cacat. ternyata pada saat mereka masih bayi, ada sebuah kejadian yang memilukan hati, sebuah keluarga dari kaum nelayan diserang oleh bajak laut. tak lain itu adalah keluarga dari putri jelita itu.. hampir merenggut nyawa semua orang dari keluarganya. tapi yang terjadi sebaliknya, semua orang selamat dari serangan bajak laut. ade seorang laki laki beserta istri dan anak bayinya melintas, dan laki laki itu adalah ayah dari pria cacat tersebut.. dalam pertempuran dahsyat itu, kepala bajak laut mati di tangan sang ayah laki laki cacat, dan keluar putri hanya mengalami luka-2.. saat kejadian itu, sang ayah laki laki cacat itu terkena panah beracun dari anggota bajak laut, yang menyampaikan nya pada ajal. dan malangnya lagi mata sang ibu laki laki babat lerluka dan buta setelah melindungi putranya dari serangan anggota bajak laut..

ketika pertempuran hebat itu terjadi, sang putri di gendong oleh ibu sang laki laki cacat.. saat tebasan pedang mengarah pada putri itu, ibu laki laki cacat mengelak dan yang kena adalah matanya tadi dan malangnya tangan putra kesayangannya putus terkena sabetan pedang..

sampai akhirnya mereka dipisahkan ke desa masing2.setelah belasan tahun berlalu dan keduanya tumbuh dewasa. orang tua putri itu menceritakan perihal yang terjadi pada kelurganya saat di serang bajak laut. dan hingga pesta ini berlangsung sang putri mngenali sang pemuda dari tangannya yang buntung itu. sebagai rasa terima kasih yang di berikan putri itu atas kebaikan keluarga pemuda buntung itu pada keluarganya.. Sampai pada akhirnya semua orang di pesta itu harus pulang ke desa masing masing. dan mengenai hubungan itu akan di tindak lanjuti oleh keluarga masing masing.. 

menjelang hari hari itu adalah hari yang berat bagi sang pemuda buntung dan putri cantik, karena banyak yang tidak rela jika mereka bersama… sampai pada akhirnya ada segerombolan pemuda yang hendak membunuh laki laki buntung..

di kelamnya malam saat pemuda pulang dari kebunya.. kilatan pedang terlihat, dan sang pemuda buntung berusaha sekuat tenaga untuk melawan, sayangnya terlambat menghindar, pedang tersebut mengenai pundak kiri pemuda buntung, pemuda itu mati kehabisan darah dengan menutup kisah cinta yang belum mekar. sang putri menangis dan menangis mendengar kejadian matinya sang pemuda buntung, hingga akhir hayatnya putri menangsi dan tetesan air matanya menjadi butiran mutiara yang di ketahui saat ini.
Cerpen Karangan: Hasbullah

Rabu, 13 Februari 2013

Balada sang Korban

Cerita Pendek Ahmadun Y Herfanda
MALAM  begitu gerah. Pak Salman gelisah. Becak yang selama ini merupakan satu-satunya sumber penghidupan bagi dia dan keluarganya akan dijual oleh juragannya. Alasannya, tidak lama lagi becak akan dilarang masuk Jakarta . Becak-becak yang ada akan dibersihkan dan dibuang ke laut. "Daripada dibuang ke laut, lebih baik dijual duluan ," kata sang juragan.
Sepulang dari kerja, Pak Salman membaringkan tubuhnya yang berkeringat di dipan bambu. Pikirannya dikacaukan bayangan masa depan yang sesuram knalpot bus kota . Ya, bagaimana nanti kalau uang Rp 20 ribu di kantongnya sudah habis untuk makan sehari-hari? Sedang dia sudah tidak menarik becak lagi. Jalan satu-satunya yang terlintas di benaknya adalah menjual barang-barang yang dia miliki. Tetapi kalau barang-barangnya sudah habis?
Pak Salman melirik barang-barang yang dia miliki: sebuah televisi bekas 12 inci dan sebuah radio transistor dua band yang warnanya mulai legam. Hanya itu yang dapat dijualnya. Dia menaksir paling banter hanya laku sekitar Rp 90 ribu dan hanya bisa untuk makan sekeluarga selama setengah bulan. Setelah itu, mencari sesuap nasi saja mungkin akan sangat sulit. Anak-anaknya masih kecil. Istrinya tidak bekerja. Belum lagi untuk membayar sewa rumah bulanan. Untuk mencari pekerjaan lain dalam waktu singkat sangat sulit. Ijazah dia tidak punya. Membaca saja masih terbata-bata. Padahal Kota Jakarta makin dipenuhi orang pintar yang masih menganggur dan setiap saat selalu rebutan pekerjaan.
Di kota yang makin padat ini orang seperti Pak Salman akan semakin tersisih. Dan dunia yang paling dekat dengan dia dan keluarganya adalah dunia gelandangan. Tidur di kolong jembatan, kalau masih ada tempat. Kalau tidak, terpaksa harus mau tidur di emper pertokoan Cina, pikirnya. Padahal, gelandangan juga makin banyak di Kota Jakarta. Tiap hari mereka meminta-minta di perempatan-perempatan jalan, di jembatan penyeberangan, di emper-emper pertokoan dan semakin berdesakan di kolong-kolong jembatan. Dia sangat ngeri membayangkan itu semua. Kepalanya terasa semakin berat dan napasnya semakin sesak.
Mbok Kasmi, istrinya, heran melihat tingkah Pak Salman yang tidak seperti biasa itu. Biasanya sehabis pulang kerja dia langsung minum bergelas-gelas air putih dan makan nasi setengah bakul. Hari itu minum seteguk air pun tidak. Lebih heran lagi, Pak Salman berbaring lesu sambil melamun, menopang kepalanya dengan kedua telapak tangannya, dan matanya menatap ke langit-langit, seperti pemuda yang sedang patah hati.
"Ada apa, Pak? Mbok ya makan dulu!" Mbok Kasmi memberanikan diri mendekati suaminya.
Pak Salman masih bungkam.
"Apakah kau sakit, Pak?"
"Aku sangat bingung, Bu. Besok sudah tidak bisa narik beca lagi."
"Lho, kenapa? Apa kau dikeluarkan?"
Pak Salman menggeleng. "Semua beca Pak Parto akan dijual," katanya lesu.
"Lalu kawan-kawanmu nanti akan kerja apa?"
"Mana aku tahu, Bu. Mereka tadi pulang dengan membisu. Aku sendiri bingung, untuk selanjutnya akan kerja apa? Padahal bisaku hanya menarik beca. Sebetulnya aku ya diberi pesangon, tapi hanya dua puluh ribu. Uang segitu dapat untuk apa, Bu? Untuk makan tiga hari saja akan habis. Dan dalam waktu itu aku belum tentu mendapat pekerjaan lain."
"Ya, Pak. Bagaimana hidup kita nanti kalau kau tidak bekerja?"
Pak Salman menggeleng dan hanya bisa menarik napas dalam-dalam. Wajah Mbok Kasmi berubah sangat sedih. Pak Salman menyesal telah telanjur mengatakan kekhawatiran yang membayangi pikirannya. Air mata Mbok Kasmi menetes, air mata tua yang sedang berduka.
"Sudahlah, Bu. Jangan menangis. Berdoa saja semoga dalam waktu beberapa hari aku sudah mendapat pekerjaan lagi."
*
Pak Salman sesungguhnya sudah ikhlas menerima nasib sebagai penarik beca walaupun hasilnya hanya pas-pasan untuk menghidupi keluarganya. Meskipun kenyataannya cukup pahit, dia tetap bekerja dengan bersemangat dan gembira. Namun, ternyata Pak Parto, juragannya, punya rencana lain.
"Bapak-bapak, sebetulnya aku tidak tega melakukan hal ini. Tapi demi kebaikan kalian, hal ini terpaksa kulakukan. Aku merasa kasihan melihat kerja kalian semakin sepi. Kalian semakin terdesak. Daerah bebas beca semakin diperbanyak, dan sebentar lagi akan diberlakukan di seluruh Jakarta. Ditambah lagi semakin banyak bemo dan angkot yang operasinya semakin merata ke jalan-jalan kecil dan gang-gang, sehingga kita semakin tidak kebagian rezeki. Belum lagi kini kita juga harus bersaing dengan tukang-tukang ojek. Dan, yang lebih tidak dapat kita lawan, tidak lama lagi beca akan dilarang masuk Jakarta ," kata Pak Parto.
"Karena itu, semua beca akan saya jual. Besok pagi akan diangkut ke Semarang semua dan kalian dengan sendirinya sudah tidak dapat menarik beca saya lagi. Uangnya akan saya pakai untuk tambahan membeli dua minibus dan akan saya operasikan di jurusan Jakarta-Bogor. Kalau di antara kalian ada yang dapat menyetir dan mempunyai SIM A, boleh mengoperasikannya. Tetapi sudah tentu saya hanya butuh dua orang sopir saja."
Pak Salman dan kawan-kawannya hanya membisu ketika pidato itu diucapkan oleh Pak Parto di hadapan mereka. Ada yang hanya melongo memandang Pak Parto, sebagian ada yang hanya menatap langit kering karena musim kemarau, sebagian lagi hanya menunduk sambil memain-mainkan jemari kakinya di tanah seperti anak kecil.
Sudah setengah bulan lebih Pak Salman menjadi penganggur. Setiap pagi dia ke luar rumah untuk mencari pekerjaan, tetapi sorenya selalu pulang dengan tubuh lesu karena harapannya tidak tergapai. Dan hari ini uangnya hanya tinggal lima ribu rupiah. Televisi bekas dan radionya pun sudah ia jual di pasar loak Taman Puring. Itu berarti besok dia sudah tidak punya uang lagi. Dia hanya berani membawa dua ribu rupiah untuk ongkos mencari pekerjaan. Sisanya diberikan kepada istrinya untuk makan sehari. Kalau hari ini dia tidak berhasil mendapat uang dan pekerjaan, besok istri dan kelima anaknya tidak akan bisa makan lagi.
Sebelum berangkat Pak Salman memandangi anak-anaknya. Yang masih kecil sedang digendong ibunya, yang nomor dua dan tiga sedang bermain-main di teras rumah sewanya yang sempit, dan satu lagi yang paling besar sudah berangkat ke sekolah. Dengan memandang anak-anaknya, semangat Pak Salman timbul kembali.
Pak Salman sudah sangat jauh berjalan. Uang di sakunya sudah ludes untuk naik bus kota dan minum aqua di pinggir jalan. Dia merasa sangat lelah. Jalan-jalan raya sudah ditelusurinya semua. Bahkan dia sudah keluar masuk gang. Tetapi setiap mendatangi kantor, toko, pabrik, warung makan, dan rumah orang kaya, selalu disambut dengan perkataan: tidak ada lowongan kerja. Banyak pula yang mengatakan kelebihan tenaga. Dia sangat sedih menghadapi kenyataan itu.
Saat berjalan sambil melamun, hujan tiba-tiba turun dari langit yang mendung sejak siang tadi. Pak Salman cepat-cepat berlari ke teras rumah yang lebar. Dia berteduh di situ. Di sekelilingnya tampak sepi, kecuali orang-orang yang berlarian masuk ke rumah masing-masing. Hujan semakin deras, disertai angin yang cukup kencang. Pak Salman menggigil. Dia tidak dapat melanjutkan langkahnya untuk mencari pekerjaan. Hujan keparat, umpatnya dalam hati. Dengan tajam dia menatap air hujan yang jatuh dari langit, lalu menatap langit yang kelam sambil sekali-sekali mengumpat. Kali ini dia betul-betul merasa benci pada hujan. Hatinya sangat marah. Tetapi hujan tetaplah hujan. Dia punya aturan sendiri untuk turun ke bumi.
Tadi Pak Salman juga sudah mencoba nimbrung pada para calo bus antarkota untuk ikut membagi rezeki, tapi dengan kasar mereka mengusirnya. Lalu dia juga mencoba ikut mengatur parkir mobil di depan pertokoan Cina, tapi seorang lelaki bertubuh besar dan berwajah berewok segara mengusirnya. Bahkan dia hampir ditempeleng ketika ngotot tetap berada di tempat itu. "Ini lahan gue, wilayah gue! Pergi lu!" bentak lelaki berewok itu, kasar.
Pak Salman marasa seperti orang yang betul-betul terusir dari tanah airnya sendiri. Dia ingat pada anak-anak dan istrinya di rumah. Dia bertambah sedih. Dia pun ingat pada kata-kata Pak Parto yang terakhir: kalian jangan khawatir. Saya yakin, kalian akan segera mendapat pekerjaan yang lebih baik dari pada penarik beca. Di sini banyak tersedia lapangan kerja. Semoga kalian tidak menjadi penarik beca lagi, hidupnya pahit!
Pak Salman sangat benci pada kata-kata itu kini. Dia juga sangat benci pada Pak Parto. Dia merasa tertipu oleh kata-katanya. Dia juga semakin membenci keadaan, membenci Kota Jakarta. Sangat benci. Syukur dia belum membenci negaranya sendiri, sehingga tidak memilih menjadi pemberontak.
Deras hujan agak berkurang. Sekitar rumah tempat Pak Salman berteduh masih tampak sepi. Dia menengok ke dalam rumah itu, juga tampak sangat sepi. Tetapi anehnya pintu rumah itu tidak dikunci, bahkan sedikit terbuka. Dia mengamati isi rumah itu. Tampak barang-barang berharga tergeletak di situ. Ada pesawat TV yang cukup besar, jam dinding, tape recorder , dan yang paling menarik hatinya adalah arloji berwarna emas yang tergeletak di atas meja. Jam itu tentu harganya sangat mahal, pikirnya. Jam itu bagai membisikkan sesuatu ke telinganya.
Pak Salman pun ingat keluarganya yang sebentar lagi akan kelaparan. "Seandainya aku dapat mengambil jam itu dan menjualnya, tentu saat yang mengerikan itu dapat tertunda lebih lama lagi dan aku mempunyai peluang dan ongkos untuk mencari pekerjaan lagi. Dan mungkin dalam jangka waktu itu aku akan mendapat pekerjaan." Pikiran Pak Salman bekerja keras. "Tapi bagaimana cara mengambilnya? Ah mudah sekali. Aku dapat melangkah dengan pelan-pelan ke meja itu, mengambilnya dan memasukkannya ke saku. Ya, jam tangan itu saja, tak usah banyak-banyak. Persetan dengan benda-benda lainnya. Tapi bagaimana nanti kalau ketahuan?" Ia berpikir kembali. "Ah, kenapa tiba-tiba aku ingin jadi maling? Betapa terkutuknya!"
Pak Salman teringat lagi pada anak-anak dan istrinya di rumah, mereka mulai besok pasti sulit untuk mendapatkan sesuap nasi. Dia memandang berkeliling. Masih sepi.
Ia memandang kembali pada arloji berwarna emas di atas meja. Pertentangan dalam batinnya semakin menghebat. Tetapi jam tangan itu semakin kuat mengundangnya.
Pak Salman tiba-tiba sudah berada di depan meja tempat arloji berwarna emas itu tergeletak. Dia memandang ke seluruh penjuru angin. Tidak ada orang lain di ruangan itu. Cepat-cepat dia mengambil arloji berwarna emas dan secara kilat memasukkannya ke saku celananya. Dengan dada berdegup keras dia berbalik untuk cepat-cepat berlalu. Tetapi tiba-tiba pintu kamar depan terbuka. Dua anak muda muncul dan berteriak garang, "Maliiiing!"
Pak Salman kaget dan geragapan. Dia berbalik ke arah dapur, tapi dari sana muncul pula seorang ibu dan dua orang lelaki. Pak Salman betul-betul terkepung. Betapapun dia tidak ingin tertangkap. Dia nekat menabrak dua pemuda tadi, tetapi mereka terlalu perkasa baginya. Tangan Pak Salman tertangkap. Dia berontak dan terpaksa melayangkan tinjunya ke muka pemuda yang menangkap tangannya. Pemuda itu terhoyong-hoyong mundur. Namun tiba-tiba sebuah tinju yang amat keras bersarang di pelipis kirinya, disusul dengan tinju-tinju lainnya. Mata Pak Salman berkunang-kunang.
Secara samar-samar Pak Salman melihat beberapa orang memasuki rumah itu, dan bertambah banyak lagi. Mereka beramai-ramai mengeroyok dan menghajarnya. Untuk selanjutnya dia hanya merasakan pukulan-pukulan semakin gencar menghujani kepala dan tubuhnya. Bukan pukulan-pukulan tinju saja, tapi juga benda-benda keras dan amat keras menghujani tubuhnya. Kemudian dia ambruk. Kepalanya menghantam lantai dengan keras. Pandangannya menjadi gelap. Semakin gelap. Gelap sekali.
*
Di rumah sewanya yang kumuh, Mbok Kasmi gelisah. Sampai jam sepuluh malam suaminya belum pulang. Dia khawatir terjadi apa-apa dengan sang suami. Mungkinkah dia sudah mendapat pekerjaan dan malam ini harus kerja lembur? Syukurlah kalau begitu. Tapi bagaimana kalau dia mengalami kecelakaan di jalan? Atau mungkin dia bunuh diri karena putus asa? Mbok Kasmi semakin gelisah, sampai seseorang mengetuk pintu rumahnya, seorang polisi. Dia semakin khawatir saja.
"Ibu istrinya Pak Salman?" tanya polisi itu setelah duduk di kursi kayu. Mbok Kasmi hanya mengangguk.
"Apa kerja suami Ibu?"
"Menarik beca? Tapi sudah setengah bulan tidak bekerja. Becanya dijual sama yang punya," jawab Mbok Kasmi dengan sorot mata penuh tanda tanya. Polisi itu menatap Mbok Kasmi agak lama.
"Maaf, Bu. Sebenarnya saya tidak tega, tapi ini harus saya katakan pada ibu. Suami ibu meninggal di rumah sakit."
"Ha! A... apa? Suami saya mati? Oh...!"
Dada Mbok Kasmi bagai terpukul godam dengan amat keras. Jiwanya betul-betul terguncang. Pandangannya semakin kabur dan kacau. Kursi kayu yang didudukinya bagai bergoyang hebat. Dia tidak kuat lagi dan ambruk menimpa Pak Polisi. Pingsan!
Jakarta, 1980/2004