Cerita Rakyat Aceh Si Parkit Raja Parakeet
: Nanggro Aceh Darussalam merupakan propinsi di Indonesia yang kaya,
subur dan makmur. Sejauh mata memandang, hamparan hutan belantara
terbentang hijau bagai permadani. Di tengah hutan belantara tersebut
hidup beraneka jenis binatang seperti orang utan, trenggiling, bluok,
kuntul, alap-alap putih, burung dara laut, burung raja udang, dan
termasuk burung parakeet. Dalam hutan itu, lahirlah sebuah cerita fabel
di kalangan masyarakat Aceh yang mengisahkan tentang kecerdikan seorang
raja burung parakeet bernama si Parkit, yang mampu menyelamatkan diri
dari seorang Pemburu yang berniat membunuhnya.
Konon, di tengah hutan belantara itu, hiduplah sekawanan burung
parakeet yang hidup damai, tenteram, dan makmur. Setiap hari mereka
bernyanyi riang dengan suara merdu bersahut-sahutan dan saling membantu
mencari makanan. Kawanan burung tersebut dipimpin oleh seorang raja
parakeet yang bernama si Parkit. Namun, di tengah suasana bahagia itu,
kedamaian mereka terusik oleh kedatangan seorang Pemburu. Ternyata, ia
berniat menangkap dan menjual burung parakeet tersebut. Pelan-pelan tapi
pasti, si Pemburu itu melangkah ke arah kawanan burung parakeet itu,
lalu memasang perekat di sekitar sarang-sarangnya. “Ehm….Aku akan kaya
raya dengan menjual kalian!”, gumam si Pemburu setelah selesai memasang
banyak perekat. Si Pemburu itu pun tersenyum terus membayangkan uang
yang akan diperolehnya.
Gumaman si Pemburu tersebut didengar kawanan burung parakeet,
sehingga mereka menjadi ketakutan. Mereka berkicau-kicau untuk
mengingatkan antara satu sama lainnya. “Hati-hati! Pemburu itu telah
memasang perekat di sekitar sarang kita! Jangan sampai tertipu!
Sebaiknya kita tidak terbang ke mana-mana dulu!” seru seekor burung
parakeet. “Ya, betul! Kita memang harus berhati-hati,” sahut burung
parakeet yang lain. Namun, karena harus mencari makan, burung-burung
parakeet itu pun keluar dari sarangnya. Alhasil, apa yang ditakutkan
burung-burung parakeet itu pun terjadi. Bencana tak terelakkan,
burung-burung parakeet itu terekat pada perekat si Pemburu. Mereka
meronta-ronta untuk melepaskan diri dari perekat tersebut, namun usaha
mereka sia-sia. Kawanan burung parakeet tersebut menjadi panik dan
bingung, kecuali si Parkit, raja parakeet.
Melihat rakyatnya kebingungan, Raja Parakeet berkata, “Tenang,
Rakyatku! Ini adalah perekat yang dipasang si Pemburu. Berarti dia ingin
menangkap kita hidup-hidup. Jadi, kalau kita mati, si Pemburu itu tidak
akan mengambil kita. Besok, ketika si Pemburu itu datang, kita
pura-pura mati saja!”, mendegar penjelasan raja Parakeet itu, rakyatnya
terdiam. Sejenak, suasana menjadi hening. Di tengah keheningan itu,
“Berpura-pura mati? Untuk apa?”, tanya seekor parakeet, membuat burung
parakeet lainnya menoleh ke arahnya. Si Parkit tersenyum mendengar
pertanyaan itu, “Besok, setelah si Pemburu melepaskan kita dari perekat
yang dipasangnya, dia akan memeriksa kita satu per satu. Bila dilihatnya
kita telah mati, maka dia akan meninggalkan kita di sini. Tunggu sampai
hitunganku yang ke seratus agar kita dapat terbang secara
bersama-sama!”. Semua rakyatnya ternganga mendengar penjelasan si
Parkit. “Oh, begitu..!? Baiklah, besok kita akan berpura-pura mati agar
dapat bebas dari Pemburu itu!”, sahut rakyatnya setuju.
Kini,
rakyatnya sudah mengerti apa yang direncanakan oleh si Parkit. Mereka
berjanji akan menuruti perintah rajanya. Keesokan harinya, si Pemburu
pun datang. Dengan sangat hati-hati, si Pemburu melepaskan burung
parakeet tersebut satu persatu dari perekatnya. Ia sangat kecewa, karena
tak satu pun burung parakeet yang bergerak. Dikiranya burung parakeet
tersebut telah mati semua, ia pun membiarkannya. Dengan rasa kesal, si
Pemburu berjalan seenaknya, tiba-tiba ia jatuh terpeleset. Kawanan
burung parakeet yang berpura-pura mati di sekitarnya pun kaget dan
terbang dengan seketika tanpa menunggu hitungan dari si Parkit. Si
Pemburu pun berdiri kaget, karena ia merasa telah ditipu oleh kawanan
burung parakeet itu. Namun, tiba-tiba ia tersenyum, karena melihat ada
seekor burung parakeet yang masih melekat pada perekatnya. Lalu ia
menghampiri burung parakeet tersebut, yang tidak lain adalah si Parkit.
“Kamu akan kubunuh!”, bentak si Pemburu dengan marah. Si Parkit sangat
ketakutan mendengar bentakan si Pemburu.
Si Parkit yang cerdik itu, tidak mau kehilangan akal. Ia segera
berpikir untuk menyelematkan diri, karena ia tidak mau dibunuh oleh si
Pemburu itu. “Ampuni hamba, Tuan! Jangan bunuh hamba! Lepaskan hamba,
Tuan!” pinta si Parkit. “Enak saja! Kamu dan teman-temanmu telah
menipuku. Kalau tidak, pasti aku sudah banyak menangkap kalian!” kata
si Pemburu dengan marah. “Iya. Tapi itu kan bukan salahku. Ampuni hamba,
Tuan! Hamba akan menghibur Tuan setiap hari!” kata si Parkit memohon.
“Menghiburku?” tanya si Pemburu. “Betul, Tuan. Hamba akan bernyanyi
setiap hari untuk Tuan!” seru si Parkit. Si Pemburu diam sejenak
memikirkan tawaran burung parakeet itu. “Memangnya suaramu bagus?” tanya
si Pemburu itu mulai tertarik. Si Parkit pun bernyanyi. Suara si Parkit
yang merdu itu berhasil mumbujuk si Pemburu, sehingga ia tidak jadi
dibunuh. “Baiklah, aku tidak akan membunuhmu, tapi kamu harus bernyanyi
setiap hari!” kata si Pemburu. Karena takut dibunuh, si Parkit pun
setuju.
Setelah itu, si Pemburu membawa si Parkit pulang. Sesampai di
rumahnya, si Parkit tidak dikurung dalam sangkar, tapi salah satu
kakinya diikat pada tiang yang cukup tinggi. Sejak saat itu, setiap hari
si Parkit selalu bernyanyi untuk menghibur si Pemburu itu. Si Pemburu
pun sangat senang mendengarkan suara si Parkit. “Untung….aku tidak
membunuh burung parakeet itu”, ucap si Pemburuh. Ia merasa beruntung,
karena banyak orang yang memuji kemerduan suara si Parkit. Sampai pada
suatu hari, kemerduan suara si Parkit tersebut terdengar oleh Raja Aceh
di istananya. Raja Aceh itu ingin agar burung parakeet itu menjadi
miliknya. Sang Raja memanggil si Pemburu menghadap kepadanya. Si Pemburu
pun datang ke istana dengan perasaan bimbang, karena ia sangat sayang
pada si Parkit.
Sampai di hadapan Raja Aceh, ia tidak bersedia memberikan si Parkit
yang bersuara merdu itu kepada Sang Raja. “Ampun, Baginda! Hamba tidak
bermaksud menentang keinginan Baginda!” kata si Pemburu memberi hormat.
“Lalu, kenapa kamu tidak mau memberikan burung itu?” tanya sang Raja.
“Ampun, Baginda! Mohon beribu ampun! Hamba sangat sayang pada burung
tersebut. Selama ini hamba telah memeliharanya dengan baik”, jawab si
Pemburu. Mendengar jawaban itu, “Kalau begitu, bagaimana jika kuganti
dengan uang yang sangat banyak.?”, sang Raja menawarkan. Pemburu itu pun
terdiam sejenak memikirkan tawaran itu. Tidak lama, “Ampun, Baginda!
Jika Baginda benar-benar menyukai burung parakeet tersebut, silakan
kirim pengawal untuk mengambilnya!” kata si Pemburu sambil memberi
hormat. Sang Raja sangat senang mendengar jawaban si Pemburu. Ia pun
segera memerintahkan beberapa pengawalnya untuk mengambil burung
parakeet tersebut dan menyerahkan uang yang dijanjikannya kepada si
Pemburu.
Si Parkit pun dibawa ke istana dan dimasukkan ke dalam sangkar emas.
Setiap hari si Parkit disediakan makanan yang enak. Meksipun semuanya
serba enak, namun si Parkit tetap tidak senang, karena ia merasa
terpenjara. Ia ingin kembali ke hutan belantara tempat tinggalnya dulu,
agar ia bisa terbang bebas bersama rakyatnya. Karena merasa sedih, si
Parkit sudah beberapa hari tidak mau menyanyi untuk sang Raja.
Mengetahui burung parakeetnya tidak mau menyanyi lagi, sang Raja mulai
bimbang memikirkan burung parakeetnya. Karena ingin tahu keadaan burung
itu yang sebenarnya, maka sang Raja pun memanggil petugas istana,
“Kenapa burung parakeetku tidak mau bernyanyi lagi beberapa hari ini?
Dia sakit, ya?”. Petugas Istana itu menjawab, “Maaf, Tuanku. Hamba juga
tidak tahu apa sebabnya. Saya telah memberinya makan seperti biasanya,
tetapi tetap saja ia tidak mau bernyanyi,”. Mendengar jawaban dari
Petugas Istana tersebut, Raja Aceh menjadi sedih melihat burung
parakeetnya yang tidak mau bernyanyi lagi. “Ada apa, ya?” gumam sang
Raja.
Beberapa hari kemudian, si Parkit bahkan tidak mau memakan apa pun
yang disediakan di dalam sangkar emasnya. Ia terus teringat pada hutan
belantara tempat tinggalnya dulu. Si Parkit pun mulai berpikir,
“Bagaimana caranya ya….aku bisa keluar dari sangkar ini?”, gumam si
Parkit. Tak lama, ia pun menemukan akal, “Aahh….aku harus berpura-pura
mati lagi!”, si Parkit tersenyum sambil membayangkan dirinya lepas dan
terbang tinggi. Akhirnya, pada suatu hari, ia pun berpura-pura mati.
Petugas Istana yang mengetahui si Parkit mati segera menghadap sang
Raja. “Ampun, Tuanku. Hamba sudah merawat dan memelihara sebaik
mungkin, tapi burung parakeet ini tidak tertolong lagi. Mungkin karena
sudah tua,” kata Petugas Istana melaporkan kematian si Parkit. Sang Raja
sangat sedih mendengar berita kematian burung parakeetnya, sebab tidak
akan ada lagi yang menghiburnya. Meskipun sang Raja masih memiliki
burung parakeet yang lain, tetapi suaranya tidak semerdu si Parkit.
Karena si Parkit tidak bisa tertolong lagi, “Siapkan upacara penguburan!
Kuburkan burung parakeetku itu dengan baik!” perintah sang Raja. “Siap,
Tuanku! Hamba laksanakan!” sahut Petugas Istana.
Penguburan
si Parkit akan dilaksanakan dengan upacara kebesaran kerajaan. Pada
saat persiapan penguburan, si Parkit dikeluarkan dari sangkarnya karena
dianggap sudah mati. Ketika ia melihat semua orang sibuk, dengan
cepatnya ia terbang setinggi-tingginya. Di udara ia berteriak dengan
riang gembira, “Aku bebaasss…!!! Aku bebaasss….!!!. Orang-orang hanya
terheran-heran melihat si Parkit yang dikira sudah mati itu bisa terbang
tinggi. Akhirnya si Parkit yang cerdik itu bebas terbang ke hutan
belantara tempat tinggalnya dulu yang ia cintai. Kedatangan si Parkit
pun disambut dengan meriah oleh rakyatnya.
Akhirnya, Si Parkit, Raja Parakeet, kembali tempat tinggalnya.
Sumber:
Ari Wulandari.
Pakit Raja Parakeet. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Adicita Karya Nusa, 2003.