Kamis, 14 Februari 2013

Weekend Bersama Alam Papandayan

Setelah melewati banyak rintangan, dari perubahan keputusan dan rempongnya bawaan (maklum, baru pertama kali naik gunung secara resmi… dan backpacker). Kawasan yang menjadi tujuan kami adalah Gunung Papandayan Garut, awal rencana yang mau berangkat ada 8 orang tapi di hari H 3 orang memutuskan tidak jadi ikut karena alasan tertentu.

Saya berangkat dari kost (Pondok Aren, Tangsel) jam 19.15 ke Rumah Erin, motor saya dititipkan di rumahnya kemudian kami berangkat bareng jam 20.15 naik ojek kearah Ciledug sampai jam 20.30. Setelah kami tiba di Ciledug, disana sudah ada Abi yang menunggu.

TRANSPORTASI
Kami bertiga naik bis patas Cileduk-Kampung Rambutan dengan tarif Rp 7.000;, tiba di Kampung Rambutan waktu menunjukkan pukul 23.30. Mr James sudah ada disana, setelah say hello dan berkenalan kami berbincang-bincang sambil menunggu satu teman lagi dari Kebon Jeruk yang ternyata sedang terjebak macet.

Jam 00.00 Si Fahry, teman yang sedang kami tunggu akhirnya datang juga. Kami langsung berkemas dan bergegas mencari bis kearah Garut. Dan ternyata malam itu kami sudah kehabisan bis, kemudian kami memutuskan untuk naik ojek ke Pasar Rebo setelah melakukan tawar-menawar harga karena sudah terlalu malam jadi kami menyetujui membayar dengan harga yang cukup mahal Rp 10.000; untuk jarak yang dekat. Alhamdulillah…di Pasar Rebo masih ada satu bis kearah Garut yang sedang mangkal, kami segera naik dan dengan mudah kami bisa mendapatkan kursi sesuai keinginan karena tidak ada penumpangnya. Bis baru bergerak pukul 01.00, kami pergunakan waktu di bis tersebut untuk tidur yang kebetulan ka-
mi semua baru pulang kerja.

Tiba di terminal Cicaheum Garut pukul 05.30, sebelum melanjut-kan perjalanan kami bergantian ke toilet yang ada di terminal ter-sebut. Setelah itu kami sarapan bubur ayam yang rasanya cukup asin di sekitar tempat kami turun tadi dengan harga Rp 5.000; per porsi. Saya dan Erin mampir ke pasar sebentar membeli sayur dan beras untuk dimasak nanti, seusai belanja kami langsung mencari angkot dengan tujuan Cicaheum (tarif Rp 6.000;).

BERANGKAT!
Tiba di pertigaan Cisurupan kira-kira 30-40 menit perjalanan dengan jarak tempuh 12 km, sambil menunggu teman dari tim lain untuk naik dolak bareng kami bergiliran ke toilet yang ada di Masjid Mr James dan Abi membeli beberapa ransum di Indomaret. Tarif harga yang sudah disepakati adalah Rp 10.000; per orang. 12 orang sudah terkumpul untuk naik dolak (truk sayur), 5 orang dari kami dan 7 orang dari tim lain yang sepertinya masih anak-anak SMU.

Mr James duduk di sebelah Pak Sopir, Abi dan Fahry disisi kiri bersama anak-anak SMU, aku dan Erin di sisi kanan bersama anak-anak SMU yang lainnya. Di sepanjang jalan kami melihat pemandangan yang luar biasa, puncak Papandayan dilihat dari kaki gunung seperti penuh misteri karena banyak asap dari belerang dan kabut yang menyelimutinya. Kami juga bisa melihat hutan mati yang masih mengeluarkan asap karena kebakaran yang terjadi di bulan Ramadhan kemarin. Perjalanan dari Cisurupan menuju Penanjakan menghabiskanwaktu 30 menit, jalanannya cukup terjal karena daerah Pegunungan dan juga sudah rusak aspalnya. Setiap tikungan kami harus berpegangan kuat-kuat begitu juga kalau ada lubang, Mr. james menjadi navigator kita karena beliau duduk di dekat Pak Sopir.

PUNCAK PENANJAKAN
Begitu kami sampai di TKP dan turun dari dolak, beberapa dari kami langsung ke toilet sebelum me-lakukan pendakian. Mr James mengganti bajunya dengan baju sport, yang menurut saya ‘Ngga Banget’ yaitu T-Shirt Tangtop dan celana pendek untuk suhu udara yang lumayan dingin itu. Sedangkan Aby dan Fahry ke Posko untuk melapor dengan membayar sejumlah uang ‘sukarela’. Setelah berfoto bersama dengan meminta bantuan salah seorang dari tim pendaki yang lain, kami berdoa yang dipimpin oleh Abi untuk keselamatan bersama diakhiri dengan toast tangan dan berteriak ‘Haaaa….!!!!!’

Perjalanan dimulai! Pendaki cukup banyak di hari itu kemungkinan mereka mempunyai alasan yang sama dengan kami yaitu menghabiskan liburan weekend bersama alam. Ada dua jalur yang bisa dilewati untuk mencapai puncak yang menjadi tujuan kami yaitu Taman Salada, tempat dimana kami merencanakan untuk mendirikan tenda dan bermalam disana. Track yang kami lalui berupa batu-batuan dan pasir putih bekas lahar letusan gunung Papandayan, baru beberapa menit perjalanan saya dan Erin sepertinya sudah merasa keletihan hahah…maklum mountainering amatir, kami beristirahat di atas bebatuan dan teman-teman yang lain dengan sabar menunggu kami di depan. Di perjalanan kami bertemu dengan banyak orang, ada warga setempat yang baru menuruni puncak,ada juga yang naik dengan mengendarai sepeda motor. 

‘Waduhhhh….ne orang uda ga punya rasa takut apa ya?’ gumam kami. Kami juga bertemu dengan sepasang suami istri, yang pria berasal dari Prancis dan yang wanita dari Malang Mr. Steve dan mba Ida namanya. Yang pada akhirnya mereka memutuskan untuk bergabung di tenda kami meskipun tidak ada rencana menginap di Puncak pada awalnya. Kami bertukar cerita satu sama lain selama perjalanan, satu sama lain jadi lebih saling mengenal. Abi teman Erin ternyata sudah beberapa kali naik gunung, kalau Fahry emang pendaki gunung sejati dalam 1 bulan dia pernah naik gunung sampai 4 kali. Mr. James adalah Managernya Abi di kantor, dia warga Negara Malaysia dan seorang atlet lari marathon. Mba Ida ternyata sudah menjadi warga Negara Perancis, sudah 13 tahun dia tinggal disana dan bekerja sebagai karyawan restoran dengan nuansa ski. Mr. Steve sendiri adalah seorang teknisi perakitan pesawat terbang di Perancis. 

Kadang-kadang kami harus menghentikan percakapan karena kelelahan dengan jalanan yang selalu menanjak, alur nafas jadi lebih cepat dari biasanya. Selain tanjakan, asap belerang dengan bau yang menyengat juga harus kami lalui.

Untuk menghilangkan rasa lelah Erin membidikkan kamera ke arah kami, dengan sigap tan-pa di komando kamipun berpose layaknya banci kamera. Waduuuuhh….capeknya bukan main, dengan bawaan yang cukup berat di punggung. Padahal itu sudah dikurangi bebannya 75% waktu di rumah Erin, dan heheheh… akhirnya yang membawa tasku pulang pergi adalah Abi, karena tas Abi tidak ada isinya apa-apa terakhir tenda yang aku bawa dimasukkan ke dalam tasnya.

Yang paling terlihat kelelahan di antara kami hanya aku dan Erin, heheh sudah ku ceritakan di awal kalau kami memang mountainering amatir. Tapi tekad kami sudah bulat akan menyelesaikan pendakian sampai akhir, meskipun berkali-kali aku dan erin berhenti karena kelelahan tap tetap semangat untuk melanjutkan perjalanan.

Jalanan cukup terjal dan berbatu, asap belerang dimana-mana dengan bau yang menyengat. Dimana-mana terlihat asap, kawah belerangpun masih mendidih di ber-bagai tempat. Melipir kekanan kea rah puncak adalah jalan yang disarankan oleh Fahry selaku Tour Guide dan sweeper kami, dia selalu berjalan di belakang kami setelah menunjukkan rute jalan yang akan dilalui. Tapi tiba-tiba saja Fahry sudah berada jauh di depan kami, ternyata dia melewati jalan yang belum pernah dilalui oleh orang.

Kurang lebih dua setengah jam perjalanan, akhirnya tiba juga di tempat yang di tuju yaitu Taman Salada, para ikhwan segera mendirikan 2 tenda 1 untuk para akhwat dan 1 lagi untuk para ikhwannya. Sedangkan akhwat hanya duduk-duduk sambil melepas lelah, cengar-cengir sambil nyeletuk kami bantu do’a saja ya dari sini…heheh rukhshoh ne :P

Setelah tenda berdiri, Fahry langsung tidur bukan di dalamnya tapi di luar tenda. Aku dan Erin
berjalan-jalan di sekitar Camping

Ground sambil berfoto-foto, aku melihat aliran air sudah tidak ada yang ada hanya selang-selang besar dan kecil yang menyalurkan air dari puncak gunung ke rumah warga. Ada bebrapa selang yang bocor, dan bocoran air dari selang itulah yang bisa kami pakai untuk semuakebutuhan selama camping disana.

Tidak ada MCK!!! Wuaaaaaaahhhhh….risi juga sih pada awalnya, tapi heheh lama-lama biasa juga. Aku menekankan pada diri sendiri untuk tidak banyak makan, karena akan sangat repot jika ingin buang hajat.. Tidak seperti itu juga sih maksudnya, hanya saja aku sendiri yang merasa sangat risih.

Semakin malam semakin dingin bahkan cuaca sangat dingin, lebih dingin dari saat aku di Salabintana dulu sampai beberapa saat aku tidak bisa tidur meskipun sudah memakai baju tebal, sarung tangan, kaos kaki dan sleepingbag. Lebih menyedihkan lagi si Erin yang alergi dengan dingin, dia menggigil sepanjang malam, keaadannya sangat menghawatirkan malam itu. Mr. James, Mba Ida, dan Mr Steve mencari kayu bakar untuk api unggun sebanyak mungkin. Setelah itu kayu tersebut dibakar dengan menggunakan ilalang kering, lumayan untuk mengusir dingin sementara. Untuk menghangatkan tubuh kami bergerak terus didekat perapian, kemudian menyalakan kompor nesting yang sudah dibawa dari rumah 2 buah untuk memasak nasi, mie, dan air. Ada yang request kopi, kopi jahe dan jahe murni. Suasananya cukup rame…ada beberapa tim yang baru datang, belum sempat mereka mendirikan tenda hujan sudah mulai turun. Mereka ikut bergabung di tim kami untuk menghangatkan diri di depan perapian, sambil menikmati secangkir minuman hangat.Setelah hujan reda tendapun segera didirikan oleh mereka, sedangkan kami melanjutkan menghangatkan badan di sekitar api unggun. 

Langit beberapa saat cerah dan sesaat kemudian kembali berkabut, suasana seperti itu terjadi berulang-ulang. Saat cerah seperti di planetarium, bintang terlihat sangat dekat…Subhanallaaaaaaaaaaaah….indah sekalii!!!!!! Kami bertujuh rebahan di atas rumput sambil memandangi indahnya bintang di langit, tapi beberapa kali juga kami merasa kecewa karena selang 10 sampai 15 menit berganti suasana jadi gelap gulita oleh kabut.

Tepat pukul 22.00 kami masuk tenda untuk beristirahat, mba Ida yang memang tidak merencanakan untuk menginap hanya membawa perlengkapan seadanya. Tapi dia bilang sih kalau sudah biasa dengan cuaca seperti itu bahkan lebih dingin lagi saat di Perancis heheh….tapi buktinya dia tidak bisa tidur sampai pagi, bukan cuma Mba Ida saja sih Mr James, Mr Steve dan Aby juga yang kebetulan mereka tidak membawa sleepingbag. Maaf ya…untuk yang satu ini aku tidak bisa berbagi…heheh, ini saja masih terasa sangat dingin sekali. Pukul 01.00 aku terbangun karena saking dinginnya, sedangkan Erin alerginya kambuh sampai mengigau sepajang malam.

Aby membangunkan kami jam 04.00 untuk melihat sunrise, tapi keadaan di luar tenda berkabut tebal sampai tidak terlihat sekeliling kami. Yaaaaahh…kami berdiam diri di dalam tenda menunggu kabut memudar, sambil menunggu aku berwudhu dengan menggunakan persediaan air dari botol aqua yang dinginnya seperti baru dikeluarkan dari freezer. Kami sholat di luar tenda berjamaah Aku, Aby dan Fahry.

Kami merapikan perleng- kapan di dalam tenda, packing tas karena akan kami tinggal sementara untuk memburu sunrise. Pukul 05.00 kami berangkat menuju spot yang sudah direncanakan oleh Aby dan Fahry, spot yang tepat untuk mengintip sunrise hanya sekitar 20 menit perjalanan untuk mencapai tempat tersebut. Sesampainya di sana kabutnya tiba-tiba datang lagi kami mengira hari ini tidak bisa menyaksikan keindahan sunrise, tetapi ternyata Allah masih memberikan kesempatan kepada para hamba-Nya ini untuk mengagumi kebesaran-Nya sunrisepun dapat kami nikmati. Alhamdulillah ya sesuatu sekali..

Kami tidak melewatkan sedetikpun pandangan kami ke arah puncak dimana sang surya akan akan bergulir dari belakangnya tentu saja sambil mengabadikannya di kamera. Hanya ada satu tim terlihat selain kami untuk menyaksikan sunrise yang lain masih berada di tenda masing-masing. Setelah agak siang kami kembali ke tenda untuk membuat sarapan, Mr Steve dan Mba Ida berpamitan kepada kami karena semalaman tidak tidur khawatir staminanya tidak cukup kuat untuk mencapai puncak Taman Edelweis yang menjadi tujuan kami selanjutnya. Untuk kenang-kenangan kami berfoto bersama beberapa kali sebelum mereka pulang, tukar nomor hp, skype dan alamat email. Mba Ida menawarkan penginapan gratis apabila kami berkunjung ke Perancis, WOW…..mungkinkah? Insyaallah…

Setelah kepergian Mr Steve dan Mba Ida Aku dan Erin mu-lai memasak, pecel sayur dan nasi goreng….’tepok jidat’ ga nyambung banget kan kombinasi makanannya, tapi apa boleh buat daripada lemes kelaperan? Mr James dan Aby mem-bongkar tenda sedangkan Fahry mencuci perlengkapan yang kotor. Hanya membutuhkan waktu 30 menit saja, masakan tersebut sudah siap untuk disantap kamipun dengan sedikit rakus segera menuntaskan semua yang telah dimasak. Segera kami merapikan semua barang bawaan, setelah dirasa ready to go tentu saja tanpa meninggalkan sampah sedikitpun di camping Ground tersebut kami menuruni puncak menuju puncak Tegal Alun dimana terdaapat Taman Edelweis. Melewati hutan ‘mati’ pohonnya mati dikarenakan aliran lahar saat meletusnya gunung ini pada tahun 2003 silam.

Sebetulnya arah menuju Tegal Alun dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu Hutan Mati dan Sungai Kering/ Bebatuan. Dua tahun yang lalu Aby dan Fahry sudah pernah melewati bebatuan, kata mereka jalur tersebut sangat terjal dan bcukup memutar arah. Maka dari itu mereka menyarankan untuk mendaki melalui kawasan Hutan Mati karena jalurnya lebih jelas dan menurut mereka tidak cukup terjal padahal sangat terjal sekali menurutku…. hiks

Setelah melalui hutan mati, akhirnya kami sampai di tanjakan terakhir yang paling terjal menuju Tegal Alun. Tanjakan ini memasuki hutan hijau, dan jalurnya sangat jelas. Di jalan kami bertemu dengan mahasiswa STAN 4 orang dengan perlengkapan yang cukup simple karena mereka tidak menginap. Kadang-kadang mereka yang di depan kami dan kadang kami yang di depan mereka tergantung lamanya beristirahat.

Di sepanjang perjalanan, orang yang paling fit tidak pernah mengeluh kelelahan adalah Fahry dan Mr James. Mr James yang notabene seorang atlet marathon selalu berlari duluan jauh di depan kami, tidak peduli tanjakan maupun turunan kamudian beliau beristirahat sambil menunggu kami mencapai tempatnya. Begitu terus berlangsung dari awal sampai pulangnya.

Alhamdulilah…finally, kami mencapai puncak gunung tersebut. Begitu keluar dari hutan yang terlihat adalah padang edelweiss yang sangat luas dengan tanah yang masih tertutup debu vulkanik. Di sini kami bertemu dengan para pecinta alam dari berbagai daerah, mereka sedang memasak sambil menunggu rombongan yang akan mereka pandu nantinya. Mereka juga membuat api unggun di tengah padang edelweiss tersebut karena meskipun hari sudah siang udaranya sangat dingin dan berkabut, kamipun minta ijin untuk bergabung dengan mereka.

Kamipun bertukar pengalaman sambil menikmati minuman hangat dan camilan yang kami bawa, suasana terasa akrab seperti sudah mengenal lama satu sama lain. Kurang lebih dua jam berada di Tegal Alun, berfoto-foto bersama bunga edelweiss kamipun turun melalui jalur sama seperti jalur pendakian tadi. Karena turunan sangat curam, Aku dan Erin beberapa kali terpeleset dan jatuh. Hhaha…tapi Erin yang lebih sering terpeleset daripada aku, kemungkinan factor sandal gunung yang dia pakai agak licin dan juga keseimbangan tubuhnya.

Lebih cepat turun daripada mendaki tadi, kami sudah sampai di hutan mati lagi hanya 30 menit saja. Hutan mati yang kami lalui sangat luas, terdapat bekas aliran sungai atau mungkin lahar yang sudah kering. Di dalam hutan mati ini berasa seperti bukan di Indonesia, asing bagi kami. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di daerah ini sungguh kontras dengan hutan hidup yang barusan kami lalui. Sampai di padang pasir putih, kami beristirahat sejenak Mr James terlihat bergerak dari satu titik ke suatu titik berulang-ulang. Begitu mendekati beliau tahulah aku apa yang sedang dikerjakannya, membuat tulisan dari batu ‘Leena’ nama istrinya. 

Heheh…aku dan Erin segera berbuat hal yang serupa, membuat nama masing-masing setelah selesai kamipun mengabadikannya termasuk Mr James juga.

Waduhhhhh….turunan lagi!!!! Lebih curam dari yang Tegal Alun, dan jalanannya berupa pasir ‘Bismillah….semoga selamat’, dengan perlahan-lahan menuruni tebing. Rem kaki harus benar-benar pakem, kalau tidak bisa-bisa terperosok jauh ke dasar bukit seperti yang dialami oleh salah seorang mahasiswa STAN sampai celana jeansnya robek di bagian belakang. Hiiii…….ngeri!!!! Jadi lebih hati-hati lagi jalannya, meski begitu tetap saja masih jatuh berkali-kali. Akhirnya sampai juga di jalan yang tidak terlalu curam, tapi masih berpasir dan berpotensi menjatuhkan orang yang melaluinya. Buktinya aku tetap terjatuh lagi berkali-kali, waduuuuuuh…..tapi tidak parah kok!

Well, Alhamdulillah kami tiba di parkiran dengan selamat.

PULANG
Setibanya di parkiran, Aby langsung mencari sopir dolak untuk booking yang akan membawa kami ke pertigaan Cisurupan nanti setelah istirahat. Baru 10 menit istirahat, sang sopir sudah memanggil-manggil dan meneriakkan dolak akan segera berangkat. Selama perjalanan aku tidak banyak mengeluarkan suara karena sangat lelah, berbeda dengan Erin dia bertanya-tanya pada sopir nama tanaman, nama tempat dan masih banyak lagi kebetulan kami duduk di samping pak sopir. Tak terasa sudah sampai di Pertigaan Cisurupan, disana sudah ada angkot menuju terminal Cicaheum kamipun langsung menaikinya.

Pukul 17.00 sampai di terminal, kami bergantian mandi di WC Umum waktu berangkat sabtu kemarin sekalian sholat Ashar. Semua sudah segar! kecuali Mr James yang tetap bertahan untuk tidak mandi. Ada bus Cicaheum-Kampung Rambutan sedang mangkal di dekat kami berada, segera saja kami menaikinya. Di dalam bus kami makan siomay sambil melihat hasil bidikan kamera selama di Papandayan. Puas sekali rasanya…..Dan kamipun tertidur sepanjang jalan sampai di Terminal Kampung Rambutan.

Mr james sudah dijemput sama sopirnya, Si Fahry naik ojek ke Pasar Rebo untuk mencari bus Kebon Jeruk sedangkan Aku, Erin dan Aby akhirnya naik taksi setelah berputar-putar mencari bus Ciledug yang ternyata sudah beristirahat tidak ‘narik’ lagi.

Finally kami tiba di rumah masing-masing dengan selamat, meskipun letih tapi merasa sangat puas dengan keindahan Papandayan yang sangat menakubkan. Besok adalah hari senin, aktivitas rutin sudah menanti…. Tetap SemangaT!!!!

Alhamdulillah ya Allah sudah diberi kesempatan untuk melihat kebesaranMu di Papandayan, terimakasih Erin, Aby, Fahry, Mr James, Mr Steve, Mba Ida dan beberapa sahabat baru kami.. NICE TRIP!

Cerpen Karangan: Rusmiyati Suyuti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar